Entri Populer

Jumat, 10 Februari 2012

ISLAM


Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah  Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan  bagi  penghuni  surga.  Islam  sebagai  agama  yang  sempurna  juga  telah  mengatur  bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang  rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda  saat ini. Penyaluran  cinta ala mereka biasa disebut dengan  pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
AJARAN ISLAM MELARANG MENDEKATI ZINA
 Allah Ta’ala berfirman, 
اًييِبَس َءاَسَو ًتَشِحاَف َُاَم َُِّّٔإ اَِّّضىا اىُبَشْقَح اَىَو
 Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32)
Dalam  Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’.  Artinya  bahwa  jika  kita  mendekati  zina  saja  tidak  boleh,  apalagi  sampai  melakukan  zina jelas-jelas lebih terlarang.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.” 
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
 ISLAM MEMERINTAHKAN UNTUK MENUNDUKKAN PANDANGAN
 Allah  memerintahkan  kaum  muslimin  untuk  menundukkan  pandangan  ketika  melihat  lawan  jenis.  Allah
Ta’ala berfirman,
 ٌُِهَجوُشُف اىُظَفِحَيَو ٌِِِٕساَصِبَأ ٍِِِ اىُّضُغَي َينٍِِِْؤَُْيِى ْوُق
 Katakanlah  kepada  laki    laki  yang  beriman  :”Hendaklah  mereka  menundukkan  pandangannya  dan
memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
َُِّهَجوُشُف َِْظَفِحَيَو َِِِّٕساَصِبَأ ٍِِِ َِِضُضِغَي ِثاٍَِِْؤَُْيِى ْوُقَو
 Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada  hamba-Nya  yang  beriman  untuk  menundukkan  pandangan  mereka  dari  hal-hal  yang  haram.
Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya).  Hendaklah  mereka  juga  menundukkan  pandangan  dari  hal-hal  yang  haram.  Jika  memang mereka   tiba-tiba   melihat   sesuatu   yang   haram   itu   dengan   tidak   sengaja,   maka   hendaklah   mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika   menafsirkan   ayat   kedua   di   atas,   Ibnu   Katsir   juga   mengatakan,”Firman   Allah   (yang   artinya) katakanlah  kepada wanita-wanita yang beriman  :  hendaklah  mereka  menundukkan pandangan  mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain  selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki  lain  (selain  suami  atau  mahromnya,  pen)  baik  dengan  syahwat  dan  tanpa  syahwat.    Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis? 
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
“Aku  bertanya  kepada  Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  tentang  pandangan  yang  cuma  selintas (tidak  sengaja).  Kemudian  Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  memerintahkan  kepadaku  agar  aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya)  “yang demikian  itu adalah  lebih  suci  bagi  mereka”  yaitu  dengan  menundukkan  pandangan  akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir  –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-
ALLAH MEMERINTAHKAN KEPADA WANITA UNTUK MENUTUP AURATNYA
 Allah Ta’ala berfirman,
 َِِيَرِؤُي اَيَف َِْفَشِؼُي َُْأ ًَِّدَأ َلِىَر َِِّهِبيِباَيَج ٍِِِ َِِّهِيَيَػ َينِِّذُي َينٍِِِْؤَُْىا ِءاَسَِّو َلِحاََْبَو َلِجاَوِصَأِى ْوُق ُّيِبَّْىا اَهُّيَأ اَي
 اَّيِحَس اّسىُفَغ َُّٔيىا َُاَمَو
Hai  Nabi,  katakanlah  kepada  isteri-isterimu,  anak-anak  perempuanmu  dan  isteri-isteri  orang  mu'min: "Hendaklah  mereka  mengulurkan  jilbabnya ke  seluruh  tubuh  mereka".  Yang demikian  itu  supaya  mereka lebih  mudah untuk  dikenal,  karena itu  mereka  tidak di ganggu.  Dan  Allah adalah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)
اَهٍِِْ َشَهَظ اٍَ اَّىِإ َُِّهَخَْيِص َِيِذِبُي اَىَو َُِّهَجوُشُف َِْظَفِحَيَو َِِِّٕساَصِبَأ ٍِِِ َِِضُضِغَي ِثاٍَِِْؤَُْيِى ْوُقَو
“Katakanlah   kepada    wanita   yang   beriman:    "Hendaklah    mereka    menahan   pandangannya,   dan kemaluannya,  dan  janganlah  mereka  menampakkan  perhiasannya,  kecuali  yang  (biasa)  nampak  dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). 
Berdasarkan  tafsiran  Ibnu  Abbas,  Ibnu  Umar,  dan  Atho’  bin  Abi  Robbah  bahwa  yang  boleh  ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim)
AGAMA ISLAM MELARANG BERDUAAN DENGAN LAWAN JENIS
 Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًٍَشِحٍَ يِر َغٍَ َّلاِإ ٍةَأَشٍِاِب ٌوُجَس ََُّىُيِخَي َلا
 Janganlah  seorang  laki-laki  berduaan  dengan  seorang  wanita  kecuali  jika  bersama  mahromnya.”  (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًٍَشِحٍَ َّلاِإ ، ُُاَطِيَّشىا اََُهَثِىاَث َُِّئَف ، َُٔى ُّوِحَح َلا ٍةَأَشٍِاِب ٌوُجَس ََُّىُيِخَي َلا َلاَأ
 Janganlah   seorang   laki-laki   berduaan   dengan   seorang   wanita   yang   tidak   halal   baginya   karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi) 
JABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS TERMASUK YANG DILARANG
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
 ُعاََِخِسِلاا إََُاَِّص ُِاَُّرُلأاَو ُشَظَّْىا إََُاَِّص ُِاَِْيَؼْىاَف َتَىاَحٍَ َلا َلِىَر ْكِسِذٍُ ًَِّّضىا ٍَِِ ُُٔبيِصَّ ًََدآ ِِِبا ًَيَػ َبِخُم
ُُٔبِّزَنُيَو ُجِشَفْىا َلِىَر ُقِّذَصُيَو ًََََّْخَيَو يَىِهَي ُبْيَقْىاَو اَطُخْىا إَاَِّص ُوِجِّشىاَو ُشْطَبْىا إَاَِّص ُذَيْىاَو ًَُلاَنْىا ُٓاَِّص ُُاَسِّيىاَو
      Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah denganberbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
An Nawawi –seorang ulama besar Syafi’iyyah- berkata,
”Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada yang berbentuk  zina  secara  hakiki  yaitu  memasukkan  kemaluan  kepada  kemaluan  yang  haram.  Di  samping  itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang  simbolis  (majas).  Lalu  kemaluan  nanti  yang  akan  membenarkan  perbuatan-perbuatan  tadi  atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina dengan kemaluan dan ada pula yang  tidak  hakiki  dengan  tidak  memasukkan  kemaluan  pada  kemaluan,  atau  yang  mendekati  hal  ini. Wallahu a’lam” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis  -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan  kaedah  ushul  “apabila  sesuatu  dinamakan  dengan  sesuatu  lain  yang  haram,  maka  menunjukkan  bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
MENINJAU FENOMENA PACARAN
 Setelah  pemaparan  di  atas,  jika  kita  meninjau  fenomena  pacaran  saat  ini  pasti  ada  perbuatan-perbuatan  yang  dilarang  di  atas.  Kita  dapat  melihat  bahwa  bentuk  pacaran  bisa  mendekati  zina.  Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu  billahi  min  dzalik-.  Lalu  pintu  mana  lagi  paling  lebar  dan  paling  dekat  dengan  ruang  perzinaan melebihi pintu pacaran?! Mungkinkah  ada  pacaran  Islami?  Sungguh,  pacaran  yang  dilakukan  saat  ini  bahkan  yang  dilabeli  dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini! Mustahil Ada Pacaran Islami Salah  seorang  dai  terkemuka  pernah  ditanya,  ”Ngomong-ngomong,  dulu  bapak  dengan  ibu,  maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?” Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara  Islami.  Lho,  gimana  caranya?  Kami  juga  sering  berjalan-jalan  ke  tempat  rekreasi,  tapi  tak  pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina. Nuansa  berpikir  seperti  itu,  tampaknya  bukan  hanya  milik  si  dai.  Banyak  kalangan  kaum  muslimin  yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu  ibarat  kalimat,  “Mandi boleh,  asal  jangan basah.”  Ungkapan yang  hakikatnya  tidak  berwujud.  Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam  Islam.  Kecuali  kalau  sekedar  melakukan  nazhor  (melihat  calon  istri  sebelum  dinikahi,  dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh  merupakan  perancuan  istilah.  Istilah  pacaran  sudah  kadong  dipahami  sebagai  hubungan  lebih intim  antara  sepasang  kekasih,  yang  diaplikasikan  dengan  jalan  bareng,  jalan-jalan,  saling  berkirim  surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram,  bayangan  haram,  dan  banyak  hal-hal  lain  yang  bertentangan  dengan  syariat.  Bila  kemudian  ada istilah  pacaran  yang  Islami,  sama  halnya  dengan  memaksakan  adanya  istilah,  meneggak  minuman  keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami,  dan  sejenisnya.  Kalaupun  ada  aktivitas  tertentu  yang  halal,  kemudian  di  labeli  nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat. (Diambil dari buku Sutra Asmara, Abu Umar Basyir)
Pacaran Mempengaruhi Kecintaan pada Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,
”Kalau  orang  yang  sedang  dilanda  asmara  itu  disuruh  memilih  antara  kesukaan  pujaannya  itu  dengan kesukaan  Allah,  pasti  ia  akan  memilih  yang  pertama.  Ia  pun  lebih  merindukan  perjumpaan  dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
 Islam  yang  sempurna  telah  mengatur  hubungan  dengan  lawan  jenis.  Hubungan  ini  telah  diatur  dalam syariat  suci  yaitu  pernikahan.  Pernikahan  yang  benar  dalam  islam  juga  bukanlah  yang  diawali  dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kami  tidak  pernah  mengetahui  solusi  untuk  dua  orang  yang  saling  mencintai  semisal  pernikahan.”  (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani) Kalau  belum  mampu  menikah,  tahanlah  diri  dengan  berpuasa.  Rasulullah  shallalahu  ‘alaihi  wa  sallam bersabda,
ٌءاَجِو َُٔى َُِّّٔئَف ، ًِِىَّصىاِب ِِٔيَيَؼَف ِغِطَخِسَي ٌَِى ٍََِِو ، ِجِشَفْيِى َُِصِحَأَو ِشَصَبْيِى ُّضَغَأ َُِّّٔئَف ، ِجَّوَضَخَيْيَف َةَءاَبْىا َعاَطَخِسا ٍَِِ
 Barangsiapa  yang  mampu  untuk  menikah,  maka  menikahlah.  Karena  itu  lebih  akan  menundukkan pandangan  dan  lebih  menjaga  kemaluan.  Barangsiapa  yang  belum  mampu,  maka  berpuasalah  karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan  kelezatan  dan  cita  rasa  cinta,  tidak  bisa  tidak  akan  timbul  keinginan  lain  yang  belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.

Mudah-mudahan   Allah   memudahkan   kita   semua   untuk   menjalankan   perintah-Nya   serta   menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan

IKHLAS

THE POWER OF IKHLAS
Ikhlas adalah meniatkan ibadah seorang muslim hanya karena Allah, dan mengharapkan keridloan-Nya. Ikhlas sulit untuk dilihat dan dinilai karena ikhlas adalah perbuatan hati, karena ikhlas memang salah satu dari rahasia Allah yang dititipkan kepada hati seorang hamba yang dicintaiNya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kekasih Allah yang paling mulia bersabda, “Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?” Allah Subhannallahu wa Ta’ala yang Maha Luas Pengetahuannya menjawab “Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hambaKu yang Kucintai.” (HR. Al-Qazwini)
Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintaiNya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama’ kekasih Allah. Karena begitu pentingnya ikhlas, kitapun dituntut untuk ikhlas ketika menjalankan suatu amal ibadah, harus semata-mata karena Allah. Karena ketika suatu amal ibadah diiringi dengan penyakit hati semacam riya’ ujub,sum’ah (ingin dipuji orang, merasa dirinya lebih baik dari yang lain, ingin didengar orang) dll, maka amal kita tidak akan diterima oleh Allah Subhannallahu wa ta’ala.
Allah berfirman: “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan [1062], lalu kami jadikan amal itu(bagaikan) debu yang tak berterbangan”, Maka alangkah ruginya jika amal ibadah kita tidak bernilai dihadapan Allah Subhannallahu wa ta’ala karena kita tidak ikhlas menjalankannya. Ikhlas juga merupakan salah satu sebab datangnya pertolongan Allah Subhannallahu wa ta’ala sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menolong umat ini dengan orang-orang lemahnya, dengan doa-doa mereka, keikhlasan dan shalat mereka”. Maka tidak heran jika para kyai-kyai dahulu menganjurkan kepada para ustadz dan guru untuk ikhlas ketika mengajar dengan harapan agar para santri dan murid bisa diberi kemudahan dalam menyerap pelajaran. sebagaimana didawuhkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Adlan Aly, Kyai Sobari, Kyai Syansuri, dll.
Proses belajarnya dan rumusan ini juga berlaku pada amal ibadah yang lain seperti me’amalah, do’a,dll. Sebagaimana apa yang dialami oleh Kyai Syansuri Badawi dengan penjaring ikannya. berikut adalah kisah yang dituturkan Kyai Syansuri kepada beberapa muridnya.
Ketika Kyai Syansuri sakit menjelang wafatnya pada tahun 1998, alumni Tebuireng wilayah Jakarta mengadakan rombongan untuk menjenguk beliau di Rumah Sakit Ngoro. Meskipun saat itu keadaan beliau sangat lemah, beliau masih bisa bertutur kata. Setelah menanyakan kondisi beliau lalu berbincang-bincang ringan, beliau bercerita tentang pengalaman beliau yang membuktikan betapa sesungguhnya ikhlas memang mempunyai keistimewaan dan pengaruh dengan hasil suatu amal perbuatan.
Beliau bercerita kepada para murid beliau di Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah dulu bahwa sewaktu beliau masih menjabat kepala sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah, ketika pulang dari mengajar, beliau menjumpai ada seorang pedagang “bubuk(suatu alat yang digunakan untuk menangkap ikan) berdiri didepan rumahnya. tiba-tiba penjual itu menawarkan dagangannya kepada beliau “Kyai, tolong beli bubuk ini. sudah 3 hari saya menjualnya tapi tidak laku, tolong…. karena uang hasil jualan ini adalah jatah makan keluarga saya….”, karena kasihan akhirnya beliau membeli bubuk yang ditawarkan kepadanya.
Meskipun bubuk tersebut sudah menjadi miliknya, bubuk tersebut nganggur tidak dipakai. karena Kyai Syansuri bukanlah seorang nelayan dan beliau pun agaknya memang tidak punya waktu untuk memanfaatkan barang yang telah beliau beli bahkan beliau juga tidak sedang butuh dengan barang tersebut. karena dari awal memang beliau berniat ingin menolong sang penjual yang sudah 3 hari menjajahkan barang dagangannya tetapi tidak ada yang membelinya. akhirnya beliau hanya meletakkan bubuk tersebut diruang tamu.
Tak berapa lama kemudian datanglah seorang tamu, seorang petani tetangga beliau. Orang itu bertamu untuk bersilaturrahim. layaknya seorang tamu, maka ada saja isu menarik menjadi pembahasan antara sang tamu dan tuan rumah. Ditengah perbincangannya, sang tamu melihat bubut tersebut. Ah… buat apa Kyai Syansuri memiliki bubuk ini?  sang tamu bertanya dibenaknya, karena tamu tersebut tahu bahwa Kyai Syansuri sibuk dengan mengajar dan tidak sempat pergi berburu ikan. Maka sang tamu pun memberanikan diri untuk meminta bubuk tersebut. Kyai Syansuri pun dengan senang hati memberikan bubuk tersebut kepada tamunya yang memintanya karena memang beliau tidak membutuhkannya. Akhirnya sang tamu pulang dengan membawa bubuk pemberian kyai Syansuri ditangannya. Esok harinya sebelum berangkat ke sawah, petani tersebut meletakkan bubuknya disungai. Ketika waktu istirahat petani tersebut melihat hasil tangkapannya. Tak disangka, ternyata sang petani mendapatkan hasil tangkapan yang banyak sekali. hasil tangkapan tersebut kemudian dibawanya pulang.
Ketika hendak kembali ke saawah setelah istirahat, sang petani kembali meletakkan bubuknya di sungai lalu kembali bekerja disawah. Sore harinya, ketika pulang dari sawah sang petani kembali mengambil bubuknya, dan ternyata hasilnya juga banyak sekali. ikan-ikan hasil tangkapannya pun dibawa pulang dan sebagian dibagikan kepada tetangganya. Maka beberapa hari sejak petani memperoleh tangkapan ikan yang banyak, dia dan tetangganya tidak berbelanja ikan dipasar. Tak berapa lama, kabar tentang bubuk bertuah pemberian Kyai Syansuri itu tersebar, banyak orang yang ikut-ikutan berburu ikan tetapi hasilnya tidak sebanyak sang petani dengan bubuknya. Akhirnya, banyak orang yang ingin memilikinya. sayang, beberapa hari kemudian bubuk itu hilang, sang petani pun bingung mencarinya. sudah beberapa hari sang petani mencari, tetapi dia tidak menemukan bubuk bertuah pemberian Kyai Syansuri tersebut.
Maka sang petani mengadu kepada Kyai Syansuri bahwa bubuk yang beliau berikan tempo hari hilang. mendengar pengaduan dari sang petani , Kyai Syansuri hanya terdiam. karena ingin mendapatkan ikan sebagaimana biasanya, sang petani akhirnya kembali meminta bubuk kepada Kyai Syansuri. karena beliau tidak memiliki bubuk lagi, maka Kyai Syansuri memberikan uang kepadanya untuk membeli bubuk yang baru. Agaknya ini sedikit mengobati rasa kekecewaan sang petani. Setelah membeli bubuk baru, sang petani pun berburu ikan kembali. diletakkanlah bubuk barunya itu disungai, lalu ditinggak pergi ke sawah. ketika saat istirahat, sang petani melihat hasil tangkapannya dengan bubuk barunya. tak disangka sang petani hanya mendapatkan kepiting, dan tidak ada ikan yang masuk ke jarring bubuknya. begitu juga waktu sore harinya, sang petani hanya mendapatkan seekor ular. Esok harinya malah giliran kodok yang terjaring. sungguh hasil yang mengecewakan, jauh dari hasil tangkapannya ketika memakai bubuk yang pertama. Sang petani tidak habis piker, kenapa bisa hari-harinya dengan bubuk yang baru tidak dinaungi keberuntungan. Maka dengan rasa penasaran, sang petani pun menemui Kyai Syansuri menyakan perihal apa yang didapatnya dengan bubuk yang baru. Mendengar cerita dari sang petani, Kyai Syansuri hanya tertawa kecil lantas menerangkan kenapa hasilnya yang didapat antara kedua bubuk tidak sama.
“Dulu ketika saya memiliki bubuk pertama, saya ikhlas, saya membelinya dengan niatan hanya ingin menolong penjual bubuk yang sudah 3 hari jualannya tidak laku. Sedangkan ketika kamu membeli bubuk yang baru, kamu berniat ingin memburu ikan dan mendapat tangkapan yang banyak tanpa diiringi rasa ikhlas ingin menolong sang pembeli.”          
TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
1.      tidak mencari popularitas dan tidak menonjolkan diri
2.      tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian. pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. pujian adalah ujian dari Allah Subhannallahu wa ta’ala , hamper tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3.      tidak silau dan cinta jabatan
4.      tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5.      tidak mudah kecewa. seorang Hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah Subhannallahu wa ta’ala.
6.      tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil.
7.      tidak fanatic golongan
8.      Ridha’ dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
9.      Ringan, lahap dan nikmat dalam beramal
10.  tidak egois karena selalu mementingkan perasaan bersama
11.  tidak membeda-bedakan pergaulan

Obat Ketika Merindukan Si Dia

Obat Ketika Merindukan Si Dia
 Tak   bisa   disangkal,   manusia   akan   selalu   bersentuhan   dengan   cinta.   Sementara   kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya. Kerinduan  kepada  kekasih,  seringkali  membekaskan  duka.  Karena  sudah  tahu  bahwa   pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan  sekolah  atau  meraih  gelar.  Akhirnya,  karena  tidak  kesampaian  untuk  nikah,  maka pacaran  terselubung  sebagai  jalan  keluar  karena  tidak  kuat  menahan  rasa  rindu  pada  si  dia.  Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif. Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan  melakukan  beberapa  kiat  yang  akan  kami  utarakan [1] Semoga  Allah  senantiasa  memberi taufik.
Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Wahai  para  pemuda,  barangsiapa  yang  memiliki  baa-ah,  maka  menikahlah.  Karena  itu  lebih  akan menundukkan  pandangan  dan  lebih  menjaga  kemaluan.  Barangsiapa  yang  belum  mampu,  maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”
Yang  dimaksud  dengan  syabab  (pemuda)  di  sini  adalah  siapa  saja  yang  belum  mencapai  usia  30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah. Secara  bahasa,  baa-ah  bermakna  jima’  (berhubungan  suami  istri).  Sedangkan  mengenai  makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama:  makna  baa-ah  adalah  sebagaimana  makna  secara  bahasa  yaitu  jima’.  Sehingga  makna hadits  adalah  barangsiapa  yang  mempunyai  kemampuan  untuk  berjima’  karena  mampu  memberi nafkah     nikah,     maka     menikahlah.     Barangsiapa     yang     tidak     mampu     berjima’     karena ketidakmampuannya  memberi  nafkah,  maka  hendaklah  ia  memperbanyak  puasa  untuk  menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi   dari   seseorang   mampu   berjima’,   maka   tentu   ia   harus   mampu   memberi   nafkah. Sehingga  makna  hadits  adalah  barangsiapa  yang  telah  mampu  memberi  nafkah  nikah,  maka hendaklah   ia   menikah.   Barangsiapa   yang   tidak   mampu,   maka   berpuasalah   untuk   menekan syahwatnya.
Jadi  maksud  dari  dua  pendapat  ini  adalah  sama  yaitu  harus  punya  kemampuan  untuk  memberi nafkah.  Sehingga  inilah  yang  menjadi  syarat  seseorang  (khususnya  pria)  untuk  membina  rumah tangga  dengan  kekasih  pilihan,  yaitu  ia  memiliki  kemampuan untuk  memberi nafkah  keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari    sini,    barangsiapa    yang    memiliki    kemampuan,    maka    segeralah    untuk    menikah    guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh  jadi,  juga  dengan  orang  lain.  Karena  nikah  telah  mencukupkan  segala  kebutuhan  jiwa  disamping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah,  maka  Allah  akan  menolongnya  dari  penyakit  rindu  dengan  cara  yang  tak  pernah  terbetik  di hati  sebelumnya.  Cinta  pada  Allah  dan  nikmat  dalam  beribadah  akan  mengalahkan  cinta-cinta lainnya.
Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  mengatakan,  “Sungguh,  jika  hati  telah  merasakan  manisnya  ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih  indah,  lebih  nikmat  dan  lebih  baik  daripada  Allah.  Manusia  tidak  akan  meninggalkan  sesuatu yang  dicintainya,  melainkan  setelah  memperoleh  kekasih  lain  yang  lebih  dicintainya.  Atau  karena adanya  sesuatu  yang  ditakutinya.  Cinta  yang  buruk  akan  bisa  dihilangkan  dengan  cinta  yang  baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.” Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan.   Keadaannya   tak   beda   dengan   sepotong   ranting   yang   meliuk   ke   sana   kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap  do’a  yang  kita  panjatkan  pasti  akan bermanfaat.  Boleh  jadi  do’a tersebut  segera  dikabulkan oleh  Allah.  Boleh  jadi  sebagai  simpanan  di  akhirat.  Boleh  jadi  dengan  do’a  kita  tadi,  Allah  akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah   seorang   muslim   memanjatkan   do’a   pada   Allah   selam   tidak   mengandung   dosa   dan memutuskan  silaturahmi  (antar  kerabat)  melainkan  Allah  akan  beri  padanya  tiga  hal:  [1]  Allah akan  segera  mengabulkan  do’anya,  [2]  Allah  akan  menyimpannya  baginya  di  akhirat  kelak,  dan  [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu  kami  akan  memperbanyak  berdo’a.”  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  lantas  berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).” Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan
kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang  memohon  pada  Allah  agar  dilepaskan  dari  penyakit  rindu  dan  kasmaran  yang  terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memanage Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran.  Namun  pandangan  yang  berulang-ulanglah  yang  merupakan  biang  kehancuran.  Oleh karena  itu,  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  memerintahkan  kita  untuk  menundukkan  pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”
Mujahid mengatakan,
 Menundukkan  pandangan  dari  berbagai  hal  yang  diharamkan  oleh  Allah,  akan  menimbulkan  rasa cinta pada Allah.” Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa  cinta  pada  Allah.  Menundukkan  pandangan  yang  dimaksud  di  sini  ada  dua  macam  yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pertama:  Akan  merasakan  manis  dan  lezatnya  iman.  Barangsiapa  meninggalkan  sesuatu  karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan  memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang  kosong.  Di  kala  sepi  sendiri,  tanpa  aktivitas  muncullah  bayangan  sang  kekasih,  wajah,  gerak-gerik,  dan  segala  yang  berkaitan  dengannya.  Seluruhnya  hanya  sekedar  bayangan  dan  khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika  dirimu  tidak  tersibukkan  dengan  hal-hal  yang  baik  (haq),  pasti  akan  tersibukkan  dengan  hal-hal yang sia-sia (batil).”
Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian  dan  film-film  percintaan  memiliki  andil  besar  untuk  mengobarkan  kerinduan  pada  orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut  dikemas dengan  mengharu  biru, mendayu-dayu tentu akan  menggetarkan  hati  orang  yang  sedang  ditimpa  kerinduan.  Akibatnya  rasa  rindu  kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila  demikian,  sudah  layak  jika  nyanyian  dan  tontonan  seperti  ini  dan  secara  umum  ditinggalkan. Demi   keselamatan   dan   kejernihan   hati.   Sehingga   sempat   diungkapkan   oleh   beberapa   ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu   Mas’ud   mengatakan,   “Nyanyian   menumbuhkan   kemunafikan   dalam   hati   sebagaimana   air menumbuhkan sayuran.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh  Dhohak  mengatakan,  “Nyanyian  itu  akan  merusak  hati  dan  akan  mendatangkan  kemurkaan Allah.”
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu   adalah  seperti  kebatilan.  Siapa  saja  yang  sudah  kecanduan   mendengarkan   nyanyian,  maka persaksiannya tertolak.”
Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah  selalu,  orang  yang  engkau  rindukan  bukanlah  pribadi  yang  sempurna.  Ia  sangat  banyak kekurangan,  sehingga  tidak  layak  untuk  dipuja,  disanjung  atau  senantiasa  dirindukan.  Orang  yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang  dimabuk  cinta  senantiasa  melihat  kekasihnya  dalam  keadaan  sempurna.  Disebabkan  cinta  ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah  dikuasai  oleh  hawa  nafsunya  sehingga  tak  dapat  bersikap  dengan  adil.  Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga  Allah  memberi  taufik.  Segala  puji  bagi  Allah  yang  dengan  nikmat-Nya  segala  kebaikan menjadi sempurna.