CINTA PUTRI AELIA
Bulan Andimarsedonia
Pada suatu masa, sebuah kerjaan kecil berdiri dengan sangat makmur
dan damai.Walau kerajaan ini kecil, karena kekayaannya ia sagat disegani
dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan tetangganya. Kerajaan ini bernama
Andimarsedonia. Andimarsedonia dipimpin oleh seorang raja yang masih
muda tapi bijaksana dalam bernegara, beliau memiliki seorang permaisuri
dan seorang adik yang bernama Putri Aelia.
Putri Aelia dikenal sebagai Bulan dari Andimarsedonia, karena dia
berparas sangat rupawan, kulitnya putih dan bersinar, bibirnya semerah
darah dengan senyum yang sangat merekah, suaranya sangat merdu dan lemah
lembut, rambutnya yang panjang sehitam arang, tubuhnya harum seharum
melati. Kecantikannya yang luar biasa tidak hanya
tersebar hingga kesuluruh pelosok kerajaan, tapi berita itu juga
mencapai keberbagai negri didunia. Tidak sedikit yang berlomba-lomba
untuk melihat wajahnya walau hanya sekejap. Berdatangan pinangan dari
pernjuru, tapi tak satupun yang dapat meluluhkan hati sang putri.
Putri Aelia tidak hanya dikagumi dengan kecantikannya, tapi juga karena
kecerdasannya dan kepiawaiannya diberbagai bidang. Jiwanya yang keras
dan kesadaran akan kedudukannya inilah yang membuat Putri sangat pemilih
dalam masalah percintaan.
Putri Aelia merupakan salah satu tangan kanan Raja dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada suatu hari Putri Aelia sedang berjalan-jalan dihutan wilayah
selatan bersama beberapa pengawal dan dayangnya. Tiba-tiba sebuah kuda
melaju sangat kencang dari arah yang berlawanan. Ketika melihat
rombongan putri, si penunggang kuda memperlambat jalan kudanya, lalu
berhenti didepan rombongan sang putri dengan menganggukan kepalanya
sekali sebagai tanda hormat. Ketika pandangan mata pemuda itu bertemu
dengan pandangan sang putri, pemuda itu langsung menundukkan
pandangannya. Putri merasa heran, selama hidupnya hampir semua laki-laki
akan terpana akan kencantikannya sehingga tak akan mampu mengalihkan
pandangan mereka dari wajahnya untuk beberapa lama. Tapi dalam sekejap
saja pemuda dihadapannya ini langsung menundukkan pandangannya.
Karena rasa herannya, putri meminta sang pemuda untuk mendekat. Pemuda
itupun mendekat dengan masih saja menundukkan pandangannya.
“Salaam hai pemuda. Siapakah kau dan sedang apa kau disini?”
“Walaikum salam Putri Aelia, Saya adalah Ali abdul Jabbar bin Abdullah,
dan saya sedang berkuda berkeliling hutan.” Jawab pemuda itu tanpa
sekejappun menaikkan pandangannya pada sang putri. Sikap pemuda bernama
Ali semakin membuat putri penasaran.
“Wahai Ali, mengapa kau selalu menundukkan pandanganmu ketika berbicara padaku, padahal aku tak berkeberatan dengan hal itu.”
“Sungguhpun saya tahu Putri tidak berkeberatan, tapi Allah dan
Rasul-Nya berkeberatan jika saya memandang Putri, dan saya takut akan
murka Allah.”
Putri Aelia merasa malu mendengar perkataan pemuda itu, karena selama
berbicara, tak sekejapun ia menundukkan pandangannya dari Ali. Putri
menyadari bahwa Ali memiliki wajah dan perawakan yang sangat tampan,
tapi ketampanan budi dan akhlaknya semakin membuat Putri Aelia kagum.
Bagi sang Putri, Ali adalah sosok yang sangat lain dari yang lain, Putri
merasakan sesuatu pecah didadanya, ada perasaan riang yang tiba-tiba
menggelitik relung hatinya, akhirnya dia menyadari bahwa Ali adalah
laki-laki yang ia tunggu selama ini.
“Wahai Ali, siapakah orang tuamu dan dimanakah rumahmu?”
“Ayah saya adalah Abdullah bin Mustofa, Bangsawan kerjaaan bagian selatan dan rumah kami…”tiba-tiba Putri memotong kalimat Ali.
“Ah aku tahu, ternyata kau putra dari paman Abdullah, aku mengenalnya,
tapi mengapa aku tidak pernah melihatmu berkunjung ke istana?”
“Karena sejak kecil saya tidak pernah berada dikerajaan ini, saya
menetap kerajaan tetangga. Saat ini saya sedang berlibur disini untuk
beberapa waktu.”
“Ah baiklah kalau begitu, apakah kau bersedia untuk berburu bersama rombonganku?”
“Terima kasih banyak tuan Putri, saya merasa terhormat, tetapi saya
telah berjanji pada ayah untuk pulang pada saat makan siang, dan saya
rasa saya telah sedikit terlambat. Jika Putri tidak berkeberatan, saya
harus memenuhi janji saya pada beliau, saya mohon pamit.”
Putri menghela nafas kesekian kalinya, jika bukan Ali, tanpa sedetikpun
berpikir laki-laki manapun akan menerima tawarannya itu dengan
girangnya. “Sungguh kau ini laki-laki yang berbeda wahai Ali, tak
sedikitpun kau bernafsu untuk menghabiskan waktu bersamaku. Baiklah Ali,
senang berkenalan denganmu, sampaikan salamku pada paman Abdullah, dan
percayalah Ali, aku akan menemuimu lagi diwaktu yang dekat.”
“Insyaallah Putri dan terima kasih, wasalammualaikum.”
“Walaikum salam,” jawab putri lembut.
Ali pun melesat pergi dengan lari kudanya yang sangat kencang. Sambil
melihat kepergian Ali bersama kudanya, Putri Aelia menarik nafas
panjang-panjang, akhirnya dia menyandarkan kepalanya kedinding kereta
dan berbisik pada pelayannya, “Ah Ali, tak sekalipun dia menoleh
kebelakang… sungguh dayang, aku merasa melayang bersama larinya kuda
Ali. Dayang, perintahkan rombongan untuk pulang ke istana!”
Rombongan putripun kembali keistana, tetapi hati sang putri sangat
kentara telah terbawa oleh pemuda Ali dan kudanya ke arah yang
berlawanan.
Sesampai diistana Putri bergegas menuju Taman Keputrian, sebuah
tempat khusus dalam istana yang merupakan berkumpulnya para putri dan
istri bangsawan. Ia ingin sekali mencari kabar berita tentang pemuda
yang baru saja ditemuinya. Seperti dugaannya, pada saat itu Taman
Keputrian sangat ramai, dia mendekati segerombolan putri bangsawan yang
sangat terkenal dan pandai, mereka adalah teman-teman dekat Putri Aelia
“Salam wahai saudariku, Aisya, Amina, Safira” Rombongan itu membalas salam putri dengan riangnya.
“Walaikum salam Putri Aelia, masyaallah kau terlihat sangat ceria.
Wajahmu tampak sangat kemerahan dan senyummu sungguh lebih merekah
daripada biasanya! Ada apakah gerangan yang terjadi?” Putri Aelia
tertegun, sejelas itukah pancaran kebahagiaan hatinya dari wajahnya?
“Ah kalian memang teman dekatku, mungkin kalian dapat langsung membaca pikiranku tanpa kuberi tahu.”
“Ah Putri, jika aku tak mengenalmu lebih lama, aku akan berkata kau
sedang jatuh cinta. Tapi setahuku tak satu pemudapun yang kau minati
dinegeri ini. Jadi aku dengan jujur berkata padamu, aku tak tahu…” Jawab
Aisya yang dibarengi anggukan kedua putri lainnya. Putri Aelia tertawa
sangat kencang dan renyah, tidak seperti biasanya dia selalu tertawa
lirih dan lembut, hal itu semakin membuat yang lain keheranan.
“Sungguh wahai saudariku, aku bertemu seorang pemuda hari ini.”
Dengan serempak, ketiga putri itu menjatuhkan gelasnya dengan mulut menganga.
“Masya Allah!!!…..siapakah pangeran impian ini???” tanya mereka hampir serempak.
“Ah saudariku, aku baru saja mengenalnya, maukah kalian membantuku
untuk mencari tahu segala sesuatu tentang dia? Karena sebagai seorang
Putri aku malu untuk bertanya kesana kemari perihal seorang pemuda pada
banyak orang.”
“Tentu saja kami mengerti, dan kami akan membantumu dengan senang hati. Katakan kepada kami, siapakah nama pemuda tersebut?”
Dengan wajah yang semakin memerah putri membisikan nama Ali abdul Jabbar bin Abdullah.
“Ah, aku tahu tentang dia, aku bertemu dengannya dua hari yang lalu.
Dia baru datang dari Kerajaan Dalusia, tapi aku tak sempat berbicara
padanya… ehm, saat itu aku dengar dikalangan para gadis dia dikenal
sebagai Pemuda Es, karena dia sama sekali tak pernah berbicara akrab
dengan wanita.” Kemudian Safira dengan menggoda berbisik pada Putri
Aelia, ”Tapi jangan kuatir putri, dia belum menikah.” Diikuti gelak tawa
yang lainnya.
“Ah Putri, sungguh tak salah pilihanmu!” tiba-tiba Aisya berteriak girang.
“Sungguh jika aku belum bertunangan, aku akan meminta Ayah untuk
meminang dia untuk diriku sendiri ha ha….” Canda Aisya lagi riang, lalu
dengan serius dia meneruskan. “Aku baru teringat ketika Safira berkata
tentang Pemuda Es, Dia memang jarang sekali berkunjung ke negeri ini.
Seperti kau tahu, aku masih sepupu dengan Ali, karena dia menganggapku
saudara, dia pernah berbicara padaku setahun yang lalu. Ah sungguh dia
pemuda yang luar biasa! Tidak hanya tampan, tapi juga pandai dalam
segala bidang, terlebih lagi, dia sangat rendah hati. Banyak sekali
gadis dikerajaan ini ingin menikah dengannya, tapi lamaran orang tua
mereka selalu ditolak oleh Ali dengan hormat. Aku sendiri tak mengerti
mengapa, padahal dia saat itu belum memiliki kekasih. Akhirnya sampai
saat ini semua orang tua segan untuk melamarnya lagi. Jika putri mereka
meminta pada orang tua mereka untuk melamarkan Ali, mereka akan berkata
…’Lebih baik kau tunggu Ali datang melamarmu’. Sungguh mereka tahu bahwa
tak akan lamaran mereka itu diterima.”
“Waaah, benar! Para orang tua berhenti melamar Ali setahun yang lalu.
Orang tuaku salah satunya. Mereka melamarkan Ali untuk Syafia kakak
sulungku. Tapi Ali menolak karena alasannya dia belum ingin menikah dan
ingin melanjutkan pendidikannya. Sungguh malang kakakku itu, aku
beruntung tak pernah bertemu Ali, karena aku takut akan senasib seperti
kakakku, yang kudengar, dia selalu menjauhi wanita dan menundukkan
pandangannya setiap kali berbicara dengan wanita.” Kenang Amina.
“Ah Putriku yang cantik, kau telah bertemu orang yang sama dengan
dirimu!” kata Amina lagi. Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat.
“Tapi siapakah yang mampu menolak kecantikan Putri??!!” teriak ketiga
gadis itu dengan serempak sambil menggoda Putri Aelia, kemudian mereka
semuanya tertawa.
“Mengapa aku tak pernah mendengar tentang dia dari kalian atau yang lain?”
“Ah Putriku yang cantik, kami segan membicarakan tentang seorang pemuda
yang jauh dari jangkauan kami. Lagipula kami bertiga sudah bertunangan,
kami malu untuk membicarakan perihal seorang pemuda selain dari
tunangan kami. Lapi pula, dia jarang sekali tinggal disini, hanya orang
yang tinggal di daerah selatan yang banyak tahu tentang Ali, ehm…tentu
saja hampir semua gadis dinegeri ini, sedangkan Kau jarang sekali keluar
istana, apalagi bertanya tentang pemuda!”
Putri Aelia berpikir sejenak, lalu tiba-tiba dia berkata,
“Aku akan menghadap kakakku.” Ketiga putri tersebut tertegun mendengar
kalimat terakhir Putri Aelia, mereka tahu maksud dari perkataan adalah
tekad Putri Aelia untuk mendapatkan Ali melalui sang Raja. Siapakah
orang yang akan menolak lamaran seorang Raja negaranya. Dalam hati
mereka berkata, “Ah Ali, sudah saatnya kau menerima lamaran seorang
wanita!”
Lalu Putri Aelia berpamitan meninggalkan ketiga temannya dengan
keyakinan yang mantap, ketiga putri bangsawan itupun bubar masih dengan
perasaan terkejut
****
Walaupun malam telah larut, Putri Aelia mengunjungi kamar
peristirahatan kakaknya sang Raja. “Ah Adikku tersayang Aelia, tak
biasanya kau ingin bertemu aku secara tergesa-gesa seperti ini, ada
bintang apakah yang jatuh ditanganmu?”
“Duhai kakakku tersayang, tak nampakkah olehmu cahaya bulan yang
memancar dari wajahku?” Raja tertegun lalu memperhatikan mimik wajah
adiknya yang rupawan.
“Masyaallah, mengapa wajahmu merona dan tersipu seperti itu? Apakah mungkin hal yang luar biasa terjadi padamu?”
“Ayolah kakak coba tebak jika kau mengenalku sedalam lautan!”
“Wahai adik, jangan kau permainkan kakakmu ini! Tak mungkin jika kau ini
bertemu seorang pria?!” Mendengar tebakan Raja wajah putri semakin
memerah dan senyumnya semakin merekah, kecantikannya terpancar lebih
bercahaya dari biasanya. Rajapun sangat terkejut bercampur girang
melihat anggukan malu adiknya.
“Masya Allah!!! Benarkah ini? Adikku menemukan pujaan hatinya?
Allohuakbar!” Raja memeluk adiknya denga perasaan sangat berbunga.
“Sungguh berita yang amat baik yang kau bawa malam ini wahai Aelia!
Ceritakan padaku siapa orangnya!” Aeliapun menceritakan pertemuannya
dengan Ali dan apa yang dia dengar tentang Ali dari teman-temannya.
“Ah Putra kedua Abdullah bin Mustofa! Aku sering mendengar tentang dia
dari Abdullah dan bangsawan yang lain. Dia cukup dikagumi, tapi sejak
kecil ia tinggal dan menetap dengan Paman dari pihak ibunya di Dalusia
jadi aku tak pernah mengenalnya secara langsung. Aku percaya pada
penilaianmu tentang Ali. Apapun kehendakmu aku percaya wahai adikku.
Baiklah, aku akan memanggil Abdullah bin Mustofa menghadap besok pagi!”
“Terima kasih Kakakku tercinta.” Putri Aelia kembali ke
pembaringannya dengan perasaan berbunga, perasaan yang tak pernah dia
alami selama hidupnya. Semalaman dia terjaga karena tak mampu untuk
memejamkan mata dan pikirannya yang telah penuh dengan sosok Ali.
Berita Dari Istana
Pagi menjelang, kesegaran menerobos dengan lincah disela dedaunan
berlomba dengan angin pagi. Abdullah menyeruput minuman madu yang masih
panas dengan perlahan, sedangkan Ali baru keluar dari bilik mushola
keluarganya setelah menjalankan shalat fajar.
“Salaam Ayah, selamat pagi.”
“Walaikum salam! Ah anakku Ali, Sungguh aku diberkahi Allah dengan
memiliki anak yang tak lepas dari sajadahnya seperti dirimu Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, segala pujian hanya kepada Allah semata. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya.”
“Ha ha ha, seperti biasanya, kau benar-benar sungkan dengan pujian Ali!”
Ali duduk di kursi desebelah ayahnya. Taman mawar yang luas
dihadapannya menyebarkan keharuman yang sangat menyegarkan. Taman mawar
itu selalu mengingatkan Ali akan ibunya yang telah wafat dua tahun yang
lalu. Taman mawar ini adalah peninggalan kelembutan dan pancaran kasih
sayang dari ibunda Ali.
“Ah kau lihat Ali, ibumu adalah wanita seperti mawar-mawar itu. Cantik
dan selalu membawa kesegaran dirumah ini. Apalah arti taman itu tanpa
mawar-mawar itu Ali?”
“Kosong dan membosankan Ayah.” Jawab Ali singkat.
“Benar Ali!… begitu pula hidup seorang laki-laki tanpa wanita.”
“Apakah ayah ingin menikah lagi?” mendengar pertanyaan Ali yang spontan Abdulah tertawa terbahak-bahak.
“Oh Ali!!! Aku ini sudah tua dan banyak anak!… ibaratkan taman itu,
tamanku telah penuh dengan buah-buahan!” Abdullah masih tertawa geli,
sedangkan Ali sudah menangkap maksud dari ayahnya.
“Ali, kau jangan pura-pura bodoh. Kau tahu apa maksud dari “ayah tuamu” ini.”
Ali menghela nafas pendek sambil tersenyum. Abdullah terkejut dengan
expresi anaknya saat itu. Tidak seperti biasanya, Ali tersenyum,
biasanya dia hanya akan menjawab dengan sikap segan dan wajah penuh
keseganan.
“Ayah… Aku tahu, maksud ayah tentang wanita untuk diriku… sebenarnya
ayah…” Belum sempat Ali melanjutkan kalimatnya, seorang pelayan
menghadap Abdullah dengan sebuah surat ditangannya.
“Dari Raja?” Abdullah membaca surat perintah Raja dengan serius. Lalu
dia melipat surat itu dan memandang tajam kearah anaknya.
“Ali, sungguh senyum diwajahmu barusan amat membuatku penasaran, tapi
aku harus menunggu jawabanmu dilain waktu, karena Raja memintaku datang
sekarang juga.” Ali tertawa melihat kebingungan diwajah ayahnya, “Ya
Ayahku, aku akan berada disini jika kau kembali aku tak akan lari dari
pembicaraan ini, isnyaallah. Pergilah menghadap Raja Ayah.” Jawaban Ali
semakin membuat Abdullah penasaran dan sedikit girang, jika Ali tak
menghindar dari pemboicaraan ini, apakah artinya Ali telah menemukan
seorang gadis?… Abdullah merasa tersiksa akan rasa penasaran tentang
anaknya, tapi dia harus bergegas pergi, karena titah Raja adalah tugas
utamanya. Perjalanan dari tempat tinggal Abdullah menuju istana memakan
waktu setengah hari dengan kuda yang dipacu kencang. Abdullah tak mau
membuang waktu dengan mengendarai kereta kuda, dia menunggang kudanya
yang terbaik lalu melesat pergi.
Sesampainya di istana Abdullah diundang minum teh bersama Raja
taman. Abdullah tahu, jika Raja bersikap demikian berarti Raja hendak
membicarakan sesuatu yang serius.
“Abdullah, assalammualaikum!”
“Walaikum salam Baginda, pagi yang amat segar dan mengherankan saya,
apakah gerangan yang membuat Baginda ingin bertemu dengan saya dalam
waktu singkat seperti ini?”
“Sungguh Abdullah ada kabar baik kudengar malam tadi, sampai-sampai
bulan negeri ini bersinar lebih terang dari sebelumnya!” Abdullah
tertegun, ia tahu yang dimaksud Raja adalah Putri Aelia.
“Ah! Subhanallah, berita gembira apakah yang sampai-sampai membuat kecantikan negeri ini bersinar lebih lagi?”
“Bulan negri ini telah menemukan bintang pendamping yang diingininya Abdullah!!”
Seperti semua orang, berita ini sangat mengejutkan Abdullah. Dia
mengenal Putri Aelia dari kecil, dibalik kelambutan dan kecantikannya,
Aelia memiliki sifat yang keras dan pendiriannya yang kuat. Menyadari
kecantikan dan kedudukannya sebagai seorang Putri, Aelia sangat
berhati-hati dalam memilih pasangan hidupnya.
“Allohuakbar Ya Raja, benarkah itu? Siapakah pemuda yang sungguh
beruntung ini?” Tanya Abdullah dengan mata yang membulat, Rajapun
tertawa menggoda Abdullah.
“Hai Abdullah, tak bisakah kau menebak siapa pemuda itu?”
“Sungguh tak mampu saya menerkanya,”
“Ah Abdullah!!! Aku tahu aku sering memintamu datang seperti ini karena
aku senang berbicara tentang berbagai masalah padamu karena pengetahuan
dan intuisimu sangat tajam. Tapi sungguhkah kau tak bisa menebak siapa
pemuda itu?”
“Benar seperti yang Baginda katakan, tak jarang Baginda memanggil saya
seperti ini, jika dalam masalah kenegaraan akan mudah bagi saya untuk
memberikan terkaan. Tapi masalah yang satu ini sungguh saya tak bisa
menerka.”
Mereka terdiam beberapa saat, Raja memberikan kelonggaran waktu untuk bernafas pada Abdullah.
“Sudahkah kau tenang dari keterkejutanmu hai Abdullah?”
“Ah… Ya Baginda, saya baik-baik saja.”
“Adikku bertemu dengan pemuda itu kemarin di hutan daerah kekuasaanmu.”
Kembali Raja diam dan menyelidik wajah Abdullah, seperti dugaannya, air
muka Abdullah memancarkan keheranan.
“Apakah saya mengenal pemuda ini Baginda?”
“Ya Abdullah, kau mengenalnya dengan baik.” Abdullah semakin keheranan dan penasaran.
“Dia tinggal didaerah kekuasaan saya dan saya mengenalnya, saya pikir
sudah tidak ada satu pemudapun di kerajaan ini yang menarik perhatian
Putri Aelia.”
“Benar hai Abdullah, tak ada satu pemudapun ‘di kerajaan ini’ yang
menarik perhatian adikku, kecuali satu pemuda yang sedari kecil tidak
tinggal disini, tapi secara kebetulan dia putra dari negeri ini. Pemuda
itu hanya singgah beberapa waktu saja untuk mengunjungi ayahnya yang
kebetulan Bangsawan Daerah Selatan.”
Bagai disambar petir Abdullah terperanjat hingga terbangun dari duduknya.
“Ali???!!!” Raja tersenyum simpul lalu menarik Abdullah untuk kembali
duduk. Sungguh hari ini penuh dengan kejutan bagi Abdullah, sikap Ali
yang lain dari biasanya dan sekarang berita dari Raja tentang anaknya
tersebut.
“Ali abdul Jabbar bin Abdullah adalah nama pemuda itu, dan dia adalah putra keduamu.”
“Ya dia putra saya, tapi maaf Baginda, bagaimana Putri bisa mengenal putra saya?”
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, adikku bertemu dengan putramu
kemarin siang disaat dia berkuda dihutan. Tampaknya pertemuan yang amat
singkat itu membuat adikku terpikat dengan putramu. Jadi sekarang kau
tentu tahu kemana arah pembicaraanku Abdullah.”
“Ya, tapi saya tidak berani memberikan jawaban apapun saat ini, karena keputusan itu ada ditangan putra saya.”
“Hum, aku mengerti Abdullah. Sampaikan pinanganku ini kepada Ali. Kabari
aku selekasnya setelah kau mendapatkan jawaban Ali. Sekarang
bergegaslah kau kembali, karena seperti adikku dan dirimu, aku tak sabar
untuk mendapat jawaban Ali.”
Abdullahpun undur diri dengan membawa beban berat dipundaknya. Ia
mengenal sekali akan tabiat putranya yang selalu menolak lamaran yang
datang kepadanya. Abdullah merasa khawatir akan penolakan yang mungkin
datang dari Ali, tapi dia teringat akan senyum Ali pagi tadi. Apakah
mungkin pertemuan Ali dan Putri Aelia itu yang ingin disampaikan Ali? Ah
Bisa jadi!!! Pekiknya girang dalam hati. Siapa yang tak akan terpesona
oleh kencantikan Putri Aelia, mentaripun akan turun jika Putri Aelia
menerima lamarannya. Abdullah pulang dengan menghibur diri sendiri akan
pertemuan Putri dan Ali.
Matahari telah lama meninggalkan takhtanya ketika Abdullah sampai
tempat tinggalnya. Ali masih terjaga menanti kepulangan Abdullah.
Secangkir kopi dan sepiring makanan ringan telah disiapkan Ali, dia tahu
benar ayahnya tak akan pergi tidur sebelum rasa penasarannya hilang.
“Assalammualaikum Ali,”
“Walaikum salam Ayah, ada sesuatu yang hebatkah yang ayah dengar dari
Raja hari ini? Wajahmu tampak lebih bingung daripada disaat kau
berangkat tadi.”
Abdullah merebahkan tubuhnya yang gembul sambil menghela nafas panjang
sekali, “Ayah sebaiknya kau langsung istirahat, kau tampak lelah
sekali.” Kata Ali kemudian.
“Ah tidak…tidak!” Abdullah menggoyangkan tangannya dengan kencang,
“Oh Ali anakku, aku tak akan mampu tidur dengan nyenyak sebelum
berbicara padamu!” Ali tersenyum simpul, seperti biasa, dugaannya benar.
“Ali, aku ingin bertanya padamu…” Abdullah menyeruput kopinya untuk menenangkan dirinya.
“Ya Ayah, apakah itu?”
“Benarkah kemarin kau bertemu dengan Putri Aelia di hutan?” Abdullah menatap tajam berharap menangkap perubahan wajah Ali,
“Astagfirullah!! Ya, hal itu benar. Maaf aku tidak sempat menyampaikan
salamnya pada Ayah, aku benar-benar lupa, apakah Putri bertanya tentang
hal itu diistana tadi? Sungguh bodoh diriku karena lupa menyampaikan
amanah darinya. Lain kali ayah bertemu dengannya, tolong sampaikan
maafku.” Jawab Ali dengan rasa sesal yang kentara, Abdullah tersenyum
simpul, anaknya memang selalu panik jika lupa menyampaikan amanah
siapapun. Tapi bukan perubahan expresi wajah ini yang diharapkan
Abdullah.
“Kurasa kau harus menyampaikannya sendiri dilain waktu, karena. Ehm…..Bagaimana menurutmu tentang dia?”
“Seperti yang telah tersebar diseluruh negeri, dia wanita yang luar biasa kecantikan wajah dan parasnya. Alhamdulillah.”
“Apakah kalian lama berbicara?”
“Tidak Ayah, aku harus segera pulang karena aku berjanji kepada ayah.”
“Apa yang kalian bicarakan?”
“Ayah, sungguh dia hanya bertanya dan aku menjawab pertanyaan beliau,
dan pada saat itu aku terburu-buru.” Abdullah menghela nafas setengah
mengeluh, kekhawatirannya semakin menjadi. Dengan perlahan dia
melanjutkan,
“Ali anakku, kau ingat tentang mawar dikebun?”
“Ya, pembicaraan kita yang terputus pagi ini.” Jawab Ali singkat.
“Apakah Putri Aelia bisa menjadi mawar dikebunmu Ali?” Mendengar itu Ali
tersenyum tertawa karena dia pikir Abdullah sedang bercanda untuk
menggodanya.
“Ah Ayah!… jangan bercanda, dia seorang putri yang semua Raja diseluruh dunia ingin memilikinya. Apalah aku ini!”
“Ali, aku tidak bercanda.” Jawaban Abdullah yang singkat dan serius
menghentikan tawa Ali. Dengan wajah penuh harap Abdullah menjelaskan,
“Baginda hari ini memanggilku untuk menyampaikan maksud hati sang Putri
padamu.” Ali sangat terperanjat, matanya yang bulat semakin bulat
sedangkan mulutnya terkatup rapat. Kemudian suasana membeku untuk
beberapa saat. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam, Abdullah menghela
nafas panjang dan tubuhnya semakin lemas menempel dikursinya. Ia tahu
tundukan kepala Ali berarti berita buruk. Beberapa saat kemudaian,
dengan tenang Ali menatap ayahnya dalam-dalam dan berkata dengan
perlahan.
“Masya Allah Ayah, ini berita yang sangat mengejutkan. Aku sungguh tidak
menyangka pertemuanku yang sedemikian singkat dengan Putri akan
menimbulkan hasrat pada hatinya. Tapi ayah…” Abdullah memotong kalimat
Putranya dengan gusar,
“Ali, alasan apakah lagi saat ini yang kau ingin ajukan? Kau telah
terlalu lama dan banyak menolak pinangan dari negeri ini, bahkan dari
negeri tempat kau tinggal. Apa lagi yang kau inginkan? Saat ini yang
meminangmu adalah seorang putri yang tidak hanya luar biasa
kecantikannya, tapi juga kecerdasan otaknya.” Dalam hati Ali sedikit
sedih melihat kekecewaan diwajah Abdullah, dengan suara semakin
direndahkan Ali kembali berbicara.
“Ayah, sesungguhnya pagi ini sewaktu ayah bertanya, aku ingin
menyampaikan kabar kepadamu bahwa aku telah bertemu dengan seorang
gadis.” Dugaan Abdullah benar adanya tentang senyum yang tersungging di
bibir Ali pagi itu.
“Ali, apakah gadis ini parasnya secantik Putri Aelia?”
“Tidak, dia memang cantik, tapi tidak ada yang mampu menandingi kecantikan paras Putri Aelia ayah.”
“Lantas tidak bisakah kau merubah keputusanmu tentang gadis itu?”
“Maaf ayah, tidak.”
“Mengapa Ali?”
“Karena aku bersumpah untuk menikahinya atas nama Allah.”
“Ah Ali, aku tahu sumpah itu sangat besar tapi…apakah karena sumpah itu saja sehingga kamu menolak lamaran Putri Aelia?”
“Bukan hanya itu Ayah, jikapun aku tidak bersumpah kepada gadis itu, aku
akan tetap memilih dia daripada Putri Aelia.” Abdullah tertegun,
kepastian kata-kata Ali menimbulkan rasa sangat penasaran dihatinya pada
gadis yang dimaksud anaknya itu. Apa kelabihan gadis itu dibanding
Putri Aelia, seberepa luar biasakah sosok gadis ini? pikirnya.
“Apakah dia datang dari keluarga bangsawan?” Selidik Abdullah lebih lanjut.
“Tidak, dia dari keluarga yang biasa saja.” Jawab Ali singkat. Abdullah
berdiam diri beberapa saat, lalu dengan nada lembut dia berkata,
“Ali, Ayah mohon… ini adalah permintaan Raja, tolonglah ayah untuk
mempertimbangkan keputusanmu lagi. Jika gadis itu benar mencintaimu,
ayah yakin dia akan melepaskanmu dengan rela.” Mendengar permohonan
ayahnya wajah Ali mengeras. Dengan pandangan lesu dan penuh penyesalan
Ali menolak,
“Ayah, maafkan jika anakmu tidak berbudi. Tapi ayah, ayah memiliki
alasan sendiri dalam keputusan ayah untuk menikahi ibu, begitupun
diriku. Demi Allah aku telah bersumpah akan menikahi dia, dan aku akan
melaksanakan sumpahku karena rasa takutku pada Allah, selain dari itu
ayah, aku sungguh mencintai gadis itu. Jika aku menikah, aku hanya ingin
menikah dengan gadis seperti itu atau tidak sama sekali, insyaallah.
Dan Putri bukanlah gadis seperti dia.” Abdullah menghela nafas panjang
untuk kesekian kalinya dalam sehari. Dia tahu jika Ali telah mengatakan
Demi Allah, maka taka akan ada yang dapat merubah keputusannya. Dengan
lembut Ali mengusap pundak ayahnya,
“Ayah, maafkan aku. Tapi keputusan seorang Putri dan Raja tak akan dapat
merubah sumpah yang telah kuucapkan karena Allah. Sungguh aku takut
kepada Allah.”
“Ali anakku, aku mengerti. Sungguh kau benar-benar mencintai gadis itu
hingga kau berani bersumpah atas nama Allah. Akupun takut kepada Allah.”
Mendengar keikhlasan dalam kalimat Abdullah, Ali merasa sangat lega.
Kemudian Abdullah melanjutkan,
“Katakan padaku siapa nama gadis itu dan dari mana asalnya. Sudah
berapa lama kalian mengenal satu sama lain?”Akhirnya expresi wajah yang
ditunggu Abdullah tampak diwajah Ali sewaktu menyebutkan nama gadis yang
mematahkan pinangan Raja dan Putri Aelia.
“Zanimra, gadis dari belahan bumi seberang, dari Madagashphur. Aku
mengenalnya hanya dalam waktu singkat, tapi masyaallah dialah gadis yang
aku cari selama ini, ayah.”
Abdullah tertegun beberapa saat, diluar dugaannya nama gadis itu tidak
mencerminkan nama Islam. Dia semakin penasaran dengan Zanimra, calon
menantunya yang mampu mendahului Putri Aelia.
“Ali, hiburlah ayahmu dari kekecawaan ini, undanglah Zanimra kemari.”
“Baik ayah, aku akan memintanya datang.”
“Segera Ali, kapan dia bisa datang?”
“Perjalanan dari negerinya memakan waktu beberapa hari, tapi ayah
bersabarlah. Insyaallah dia pasti akan datang jika ayah yang
mengundang.”
“Ah sungguh berat!…Aku tak tahu harus bagaimana menyampaikan berita ini
pada Raja, aaaahhh sungguh berat!!….” Abdullah menggelengkan kepalanya
keras-keras. Ali merasa menyesal membuat ayahnya kecewa, tapi dia tahu
Abdullah mendukung keputusannya.
“Ayah, jika ayah berkenan, aku pribadi yang akan menyampaikan jawabanku pada Baginda Raja atau Putri sendiri.”
”Hai anakku, sungguh itu hal yang baik. Akan kubawa kau besok menghadap
Raja, sekarang aku benar-benar lelah.” Abdullah beranjak dari tempat
duduknya, dia berlalu kekamarnya sambil menepuk-nepuk pundak Ali. Sambil
lalu dia berkata “Ali, aku mendukung keputusanmu.” Mendengar perkataan
ayahnya yang terakhir Ali merasa tenang.
Permintaan Raja
Udara taman keputrian sangat segar pada pagi hari, bunga yang
bermekaran sangat cantik terpuruk malu ketika Putri Aelia memasuki taman
itu dengan riang. Kegirangan diwajahnya sungguh membuat kecantikannya
semakin bersinar. Dari pagi hingga malam senyumnya membias tak pernah
surut. Nama Ali terus terucap lirih dibibirnya. Raja memperhatikan
adiknya dari kejauhan dengan rasa senang. Belum pernah selama hidupnya
melihat adiknya benar-benar merasa bahagia semenjak kepergian ayah
bundanya. Raja merasa yakin Ali tak akan menolah keinginan adiknya,
terlebih lagi Putri Aelia terkenal selain dengan kecantikan parasnya
juga kecantikan tingkah lakunya kepada sesama. Dia gadis yang baik dan
sangat cantik, tak akan ada seorang pemudapun yang akan menolaknya.
Tiba-tiba seorang punggawa kerajaan membuyarkan lamunannya.
“Baginda, Abdullah beserta putranya hendak menghadap.” Dengan girang
Raja memerintahkan kedua orang yang dinantinya untuk menemuinya di taman
umum kerajaan, tempat biasa dia bercengkerama dengan Abdullah. Setelah
Punggawa itu pergi raja memanggil adiknya.
“Aleia, ikutlah denganku.”
“Baik kakak,” sambil berjalan Aelia melihat senyum diwajah kakanya,
“Kak ada apa?” Raja hanya menggelengkan kepala, beberapa langkah dari
taman Raja menunjuk kearah dua sosok tubuh yang sangat dikenal Putri.
Jantung Putri hampir berhenti melihat sosok Ali yang berdiri tak jauh
dihadapannya, lututnya menjadi lemah lunglai seketika.
“Ali…” bisiknya lirih dengan bibir gemetar. Raja membimbing adiknya untuk mendekat, tapi tubuh putri mematung seperti es.
“Kakak, aku takut tak mampu menguasai diriku, biarkan aku disini.
Temuilah mereka dan kabarkanlah padaku berita yang terucap dari bibir
Ali.” Raja mengangguk, lalu berlalu mendekati kedua sosok Ali dan
Abdullah yang belum menyadari kehadiran Raja dan Putri, sementara itu
putri bersembunyi dibalik rerumpunan mawar yang merambat. Dengan debaran
jantung yang semakin mengeras Putri Aelia menunggu kakaknya, pandangan
matanya tak sekejappun lepas dari sosok Ali.
Beberapa langkah mendekati Abdullah dan Ali, Raja merasakan sesuatu
yang kurang menyenangkan ketika dia menangkap mata Abdullah yang sayu.
Setelah mereka bertiga duduk Raja memperhatikan Ali dalam waktu yang
cukup lama.
“Ah, rupanya inilah pemuda yang membuat adikku melayang diatas awan dan
menari dilintasan pelangi.” Goda sang Raja pada Ali. Ali tersenyum
gugup, tapi Abdullah lebih gugup lagi.
“Ali, berbicaralah padaku. Bagaimana menurutmu tentang Aelia.”
“Baginda, Putri adalah wanita dengan paras tercantik yang pernah saya
temui didunia ini.” Raja tersenyum simpul. Tapi dia menangkap nada datar
dari kata-kata Ali, hal itu membuatnya sedikit gusar.
“Dan menurutmu, apakah dia akan menghibur seorang laki-laki sebagai istri?”
“Bagi pria yang menikahinya dia adalah berkah dari Allah.”
“Ah, jadi menurutmu dia berkah dari Allah bagimu!” Sahut Raja tajam.
Abdullah hendak angkat bicara, tapi kemudian Ali mendahului dengan
tenang.
“Dengan segala kerendahan hati dan beribu maaf, Ayah telah menyampaikan
maksud Raja dan Putri kepada hamba, tapi dengan berat hati saya tidak
dapat menerimanya.” Wajah Raja mengeras dan nada suarannya semakin
merendah menahan getaran hatinya.
“Hai Ali, apakah yang menyebabkan kamu menolak adikku?”
“Karena saya takut kepada Allah.” Raja tertegun, mendengar kata Allah kegeramannya sedikit mereda.
“Apa maksudmu?”
“Alasan saya tidak dapat menerima pingangan ini karena Saya telah
mengangkat sumpah atas nama Allah pada seorang gadis sebelum bertemu
Putri. Saya telah bersumpah untuk menikahi gadis itu. Dan saya tidak
mungkin melanggar sumpah tersebut karena saya takut kepada Allah.”
“Hemh… kau takut kepada Allah karena sumpahmu aku bisa memahami, tapi
jika gadis itu mau melapaskanmu dengan rela, apa yang akan kau lakukan
Ali?”
“Tetap saya tidak dapat melanggar sumpah melainkan jika Allah
berkehendak dia yang memutuskan untuk meninggalkan saya karena saya
berbuat aniaya padanya. Sungguh saya takut kepada Allah, karena Allah
berfirman dalam kitab-Nya,
Q.S. An Nahl:91. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.”
Q.S. Al Baqarah : 225. Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum
kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
“Bagaimana jika gadis itu pergi meninggalkanmu?”
“Allah yang Kuasa atas segala kejadian dimuka bumi, saya percaya
padanya. Sebagaimana saya telah bersumpah atas nama Allah, diapun telah
berjanji atas nama Allah untuk menanti dan menikahi saya.”
“Baiklah Ali, aku mengerti maksudmu. Bagaimana jika kau tak terikat sumpah dengan gadis itu?”
“Maaf, dengan sejujurnya Saya yang tak akan rela melepaskan diri saya
dari gadis itu Baginda.” Baginda terhenyak, seperti apakah gadis yang
mengalahkan hasrat Ali dari kecantikan adiknya.
“Jadi, tanpa sumpah-pun kau akan tetap menolak adikku?”
“Jika saya telah bertemu dengan gadis itu, gadis manapun dibumi akan
saya tolak. Tapi jika saya belum bertemu dengan gadis itu, demi kebaikan
ayah, saya akan menerima Putri sebaga istri saya.” Seperti halnya
Abdullah, Raja sangat penasaran dengan gadis yang mengikat hati Ali.
“Begitu besarkah cintamu pada gadis itu Ali? Mengapa kalian begitu berani mengadakan perjanjian sekuat itu?”
“Demi ketenangan jiwa kami bedua, Baginda.”
“Sungguh mengherankan kepercayaan kalian berdua pada satu sama lain.”
“Sebenarnya yang kami percayai bukanlah diri kami, tapi Allah semata.
Saya memegang janji yang diucapkannya karena Allah, dan dia memegang
sumpah yang saya ucapkan karena Allah. Pada Allah sajalah kami menaruh
kepercayaan penuh.”
“Baiklah Ali, sungguh aku amat sangat menyayangkan hal ini. Aku
menghargai keputusan dan pendirianmu. Tapi demi kebahagiaan adikku, aku
akan memperjuangkan dirimu untuk menikahinya. Buatlah aku mengakui bahwa
gadis pilihanmu itu jauh lebih baik dari Aelia, maka aku akan rela
merestui pernikahanmu dengan gadis itu. Tapi jika ternyata dia tidak
lebih baik dari Aelia, aku tak ingin kau kembali kenegeri ini karena
airmata adikku yang akan terus mengalir. Undanglah gadis itu untuk
tinggal diistana ini sebagai tamu kerajaan.” Mendengar titah Raja,
Abdullah merasa gusar, dia melirik kepada Ali, diwajah anaknya terlukis
ketenangan dan keyakinan yang luar biasa. Keyakinan Ali membuatnya
semakin bertanya-tanya tentang Zanimra, sebesar itu keyakinan Ali
tentang gadis pilihannya, bahkan dihadap Raja sekalipun.
“Jika itu kehendak Baginda, saya akan melaksanakannya. Sampaikan
perasaan penyesalan saya yang terdalam kepada Putri Aelia, semoga Allah
memberinya keselamatan dan rahmat.” Kemudian Raja meminta Ali
meninggalkan beliau dan ayahnya sendiri. Setelah Ali berlalu Raja
berkata dengan penuh kesedihan pada Abdullah. Terbayang dimatanya tangis
Putri Aelia karena rasa kecewa.
“Ah Abdullah, ternyata selama ini julukan Pemuda Es atas anakmu ini
benar adanya. Sayang sekali aku tak bisa mengikat tali kekerabatan
denganmu.”
“Maafkan saya Baginda,”
“Yah, aku tak menyalahkanmu Abdullah, hanya saja aku tak bisa melihat
air mata adikku satu-satunya. Pahami keputusannku untuk mengembalikan
kepercayaan adikku atas dirinya, satu-satunya jalan adalah hanya dengan
mempertemukan dua putri ini dalam satu ruangan. Siapa tahu Ali memang
benar akan pilihannya dan adikku bisa belajar sesuatu dari gadis
tersebut. Aku hanya berharap cara ini akan membuat adikku rela
melepaskan anakmu ini, Abdullah.”
“Saya mengerti dan saya yakin putra saya juga memahaminya.”
“Ya! Ya!… aku kagum pada putramu, tapi keyakinan diwajahnya terhadap
gadis ini benar-benar membuatku penasaran. Seperti apakah gadis itu yang
bisa membuat mata anakmu berpaling dari keajaiban kecantikan adikku?
Abdullah, titahku pasti, bawalah gadis itu sebagai tamu istanan ini.”
“Titah Baginda akan saya laksanakan, insyaallah dalam beberapa hari Zanimra akan tiba dikerajaan ini.”
“Ah jadi itu namanya… darimana dia berasal?”
“Dari kerajaan Madagashphur.”
“Bukankah itu kerajaan Hindu??”
“Ya, benar. Tapi dia gadis muslim sejak lahir.”
“Baiklah, biarkan aku menilainya setelah aku bertemu dengannya.
Sekarang sebaiknya kau cepatlah berlalu karena adikku sedang menunggu
dibalik semak mawar itu….aahh…..bagaimana caraku menyampaikan berita ini
pada Aelia hai Abdullah…” Abdullah menganggukkan kepalanya lalu
berlalu.
Melihat Abdullah pergi, Putri Aelia berlari menghampiri kakaknya.
“Ah adikku bulan negeri ini, duduklah.”
Aelia dengan patuh duduk dihadapan kakaknya.
“Aelia…walaupun kita ini orang terpenting dikerajaan ini, tapi tentu kau
sadari bahwa kita tidak dapat memaksakan kehendak kita…” Sungguh dirasa
sangat berat dada Raja ketika melihat mata wajah adikknya memucat
seputih melati.
“Aelia, tabahkan hatimu, ternyata …”
“Ali… menolakku…” Air mata Putri mengalir membasahi pipinya yang memucat, rasa sakit dihatinya begitu pilu.
“Duhai kakak, kenapa aku merasa begitu hancur seperti ini? Mengapa aku
merasa sangat bahagia pada semula waktu dan merasa mati disaat ini.
Aduhai… pedih sekali rasanya.”
Raja memeluk kepala adiknya dengan lembut, tangis adiknya seperti pisau
menyayat ulu hatinya. Sungguh jika dia bukanlah raja yang bijak,
kekuasaan ditangannya akan dia gunakan demi kebahagiaan adiknya.
“Bersabarlah wahai adikku, dengarkan aku. Pintu belumlah sepenuhnya
tertutup. Dengarlah.” Lalu Raja menceritakan rencananya untuk
mengundang Zanimra, dia yakinkan bahwa ini adalah kesempatan kedua bagi
Putri untuk merubah keputusan Ali.
“Aku ingin bertemu Ali Kak, ijinkan aku tinggal diwilayah selatan untuk berada dekat dengannya.”
“Jika itu bisa membuatmu senang, pergilah. Tapi ingat, sebagai manusia kita tak boleh memaksakan kehendak atas manusia lain.”
“Aku mengerti.”
Pada malam itu juga Putri Aelia pergi ke wilayah selatan dengan membawa harapan mampu merubah keputusan Ali.
Kedatangan Zanimra
Ali berkuda dengan riang menuju hutan, pertemuannya dengan Raja
semalam diluar dugaannya. Semula dia merasa khawatir jika Raja bukanlah
raja yang bijak. Tapi ternyata Raja adalah seorang raja yang patut
dikagumi ayahnya selama ini. Pikirannya melayang kepada kekasihnya
Zanimra yang sebentar lagi akan datang. Pagi ini dia telah menerima
surat kilat yang mengabarkan Zanimra akan datang. Sekilah terlintas
bayangan Putri Aelia, sungguh dia wanita yang luar biasa kecantikannya
dan baik budi pekertinya, tapi Ali tidak pernah tertarik pada kecantikan
paras wanita. Ada sesuatu pada diri Zanimra yang tidak dimiliki sang
putri.
Ali tersentak dari lamunanya ketika dia melihat serombongan tandu
menghadang jalannya. Kereta Putri Aelia yang gemerlap berdiri dengan
anggun dihadappannya, kemudian sosok cantik yang menyilaikan mata itupun
turun dengan langkah yang hampir melayang seperti peri.
“Salaam ya Ali,”
“Walaikum salam Putri,” jawabnya tenang.
Putri melihat tajam ke arah Ali, lagi-lagi pemuda itu menundukkan pandangannya.
“Hai Ali, kau tidak memiliki janji saat ini bukan? Sudikah kau
menghormatiku dengan turun dari kudamu?” Dengan sekali anggukan Ali
turun dari kudanya dengan mata tetap menunduk.
“Terima kasi Ali, aku ingin bertanya kepadamu, pernahkah sekalipun kau melihat wajahku?”
“Duhai tuan Putri, sungguh wajahmu telah terkenal akan kecantikannya.”
“Aku tidak bertanya tentang apa yang kau pernah dengar, aku bertanya apakah kau pernah melihat wajahku?”
“Pernah.”
“Pernahkan sedekat ini?” Tiba-tiba Putri telah berdiri sagat dekat
dengan Ali, keharuman tubuhnya merebak sangan kuat dan memabukkan
siapapun yang menciumnya. Ali dengan sigap mengambil langkah mundur,
tapi tertahan ketika Putri menangkap tangannya.
“Ali, sekarang kau melihatku!” Putri membungkukan dirinya dengan wajah
menengadah tepat di depan mata Ali yang tertunduk. Sungguh kecantikan
yang luar biasa terpampang dihadapan Ali. Kemerduan tawanya sangar
renyah dan menggemaskan. Tapi hal itu malah membuat Ali merasa geram.
Menyadari posisi Raja yang dihormatinya, Ali menahan kegeramannya.
Dengan sopan Ali melepaskan genggaman tangan Putri Aelia dan melangkah
mundur.
“Maaf Putri, sungguh putri memiliki kecantikan yang luar biasa.
Jadikanlah ia berkah Allah bagimu dan jangan jadikan kecantikan itu
bencana bagimu. Sesungguhnya syaitan amat licik dalam membuat tipu daya,
dan kecantikan wanita adalah salah satu senjata terampuh bagi mereka.”
“Ah Ali, aku tak merasa beruntung dengan kecantikan ini, karena dengan
kecantikan yang kumiliki inipun tak mampu mendapatkan apa yang paling
aku mau, yaitu dirimu!”
“Demi Allah wahai Putri, sungguh kecantikanmu tak semua orang
memilikinya, sungguh itu adalah berkah dari Allah jika Putri bersyukur.”
“Ali!…Ali…tak tahukan betapa pedih rasa cinta yang kurasakan untukmu?
Jika aku buruk kau mau mencintaiku, maka aku rela untuk menjadi buruk
bagimu!”
Ali menghela nafas panjang, ia tahu apapun yang akan dia katakan hanya
akan membuat Putri semakin galau. Ali hanya berkata lirih.
“Maafkan saya duhai Putri, sungguh saya telah terikat sumpah, maka saya tak
akan mengingkarinya.”
“Yah aku tahu, sumpah pada seorang gadis. Sungguh Ali, jika dia tidak
melebihi aku, aku akan terus berjuang untuk mendapatkan hatimu. Tapi
jika kau bisa meyakinkan aku bahwa dia lebih baik dariku, aku akan rela
melepaskanmu!”
“Saya tahu janji saya pada Raja, dan saya akan menepatinya.”
“Oh Ali, ijinkan aku bersamamu sebelum dia datang… ijinkan aku berada
disekelilingmu, berkuda bersamamu, apapun yang kau lakukan.”
“Maaf Putri, sumpah saya adalah sumpah atas nama Allah, sebagaimana
saya tidak akan rela jika kekasih saya menghabiskan waktu bersama
laki-laki lain, begitupun dia tidak akan bahagia jika saya berbuat
demikian.”
“Ah Ali, mengapa begitu kejam dirimu padaku?”
“Sesungguhnya aku hanya bersikap yang semestinya Putri.”
“Aku tahu Ali, aku hanya mengujimu. Ternyata memang kau seperti apa
yang aku harapkan! Ini membuatku semakin menginginkanmu Ali. Aku akan
berjuang demi dirimu Ali!” Putri lalu berbalik menuju keretanya.
Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkahnya dan berbalik
kearah Ali lagi,
“Ali, apakah kau pikir aku bertabiat buruk?”
“Saya banyak mendengar tentang Putri, sungguh Putri adalah seorang
Putri yang dicintai rakyatnya. Jadi tidak mungkin Putri bertabiat
buruk.” Jawaban Ali membuat Putri Aelia tersenyum pilu, lanjutnya lagi
dengan lirih,
“Jika kau belum bertemu gadis itu, apakah kau akan menerima pinanganku?”
“Demi kebaikan Raja dan kerajaan ini, insyaallah Putri.”
“Mengapa kau tak pernah sekalipun datang padaku sebelum kau bertemu gadis itu Ali?”
“Jikapun saya menemui dirimu, bukan berarti pada saat itu Putri akan
berhasrat pada saya, boleh jadi pada saat itupun Putri akan menolak
saya.”
“Sungguh pandai kau bersilat lidah Ali! Aku semakin kagum padamu.
Katakan Ali, aku tahu kau begitu percaya akan kekasihmu, tapi bagaimana
jika dia melanggar janjinya padamu?” Dengan tenang Ali menjawab,
“Na udzubillah, aku berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Tapi jika Allah berkehendak demikian, maka itu adalah urusan Allah
dengan dirinya. Dan hidupku kupasrahkan sepenuhnya di tangan Allah.”
“Aku masih tak mengerti, apa yang membuat kau terpaku pada gadis itu.” Gumam Putri Aelia.
Putri menaiki keretanya dan berlalu. Ali menghela nafas dengan lega,
dia beristigfar untuk beberapa saat mengingat kejadian singkat denga
putri. Sebagai laki-laki sungguh kecantikan dan keharuman tubuh Putri
Aelia sangat memabukkan, tapi rasa mabuk itu bagi Ali tidak lebih dari
harumnya bau arak, semakin harum dan memabukkan semakin ia menjauhinya.
Sungguh desakan Putri Aelia membuatnya gusar, tapi beberapa saat kemudia
dia teringat akan kedatangan Zanimra, bayangan kekasihnya itu
menyejukkan hati Ali seketika. Kecintaannya pada Zanimra bagi Ali adalah
kecintaan yang menyejukkan jiwanya, kecintaan kepada wanita seperti
Putri Aelia baginya adalah kecintaan yang memabukkan jiwanya. Ali
menyadari bahwa tak semua orang akan mengerti jalan pikirannya, tapi dia
tidak perduli, dengan tangkas Ali menaiki kudanya lalu melaju dengan
pesat meninggalkan tempat itu, dalam hati dia berkeras tak akan
mengunjungi hutan itu lagi selama Putri masih berada disana.
*****
“Assalammualaikum.” Abdullah dikejutkan oleh kemerduan suara seorang
wanita dari belakangnya, “Walaikum salam.” Jawabnya bersemangat. Dia
membalikkan tubuhnya dan melihat sosok anaknya Ali yang berdiri dengan
seorang wanita disebelahnya dan seorang lelaki paruh baya.
“Zanimra, putriku! Selamat datang!” sambutnya riang. Untuk beberapa
saat Abdullah memperhatikan Zanimra, kecantikan Zanimra sungguh
biasa-biasa saja dan jauh dibandingkan dengan kencantikan Putri Aelia.
Tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Pakaiannya sederhana dan rapi,
tapi tak satupun dari diri Zanimra yang bercahaya dan memukau pandangan.
Hanya saja Zanimra tampak lebih muda dibanding Putri Aelia, mungkin
karena tubuhnya yang kecil. Abdullah menyadari bahwa ukuran tubuh
penduduk Madagashphur memang kecil.
“Terima kasih Tuan Abdullah, sangat senang saya berada disini. Sudah
banyak sekali Ali bercerita tentang Anda. Alhamdulillah akhirnya saya
bisa berkunjung.”
“Ayah, ini calon menantumu bersama Pamannya Nagosh Abdurrahman.” Kemudian Abdullah merangkul paman Zanimra
“Selamat datang sahabatku Nagosh Abdurrahman, sungguh suatu kehormatan
bertemu kalian.” Paman Zanimra membalas pelukan Abdullah dengan ramah
tapi tak bersuara sedikitpun.
“Maaf Tuan, Paman saya tidak dapat berbicara, tapi dia bisa mendengar.”
Kata Zanimra kemudian. Abdullah melepaskan pelukannya lalu
mempersilahkan semuanya duduk. “Ah maaf jika begitu, silahkan duduk,
kalian pasti sangat lelah…”
“Terima kasih.” Sahut Zanimra lembut.
“Ah yaaah, aku merasa senang ketika mengetahui akhirnya Ali menemukan
wanita yang bisa membuatnya jatuh hati! Sungguh aku pikir hanya wanita
yang luar biasa sajalah yang mampu meluruhkan hati Ali! Sungguh
sahabatku Nagosh, keponakanmu ini membuat kerajaan ini geger.” Nagosh
tertawa mendengar ucapan Abdullah yang dikiranya hanya sebagai lelucon.
“Alhamdulillah…segala puji hanya bagi Allah.” Jawab Zanimra tersipu
segan, Abdullah terhenyak melihat mimik wajah Zanimra dan reaksinya yang
sama persis seperti Ali jika dia menerima pujian.
“Sungguh aneh Ali, aku seperti melihat dirimu dalam sosok wanita pada
Zanimra!” Ali tertawa kencang mendengar kalimat jujur ayahnya sedangkan
Zanimra hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Zanimra membisikan sesuatu
pada Ali lalu Ali tersenyum.
“Maaf Ayah, Zanimra takut jika dia tidak sopan, tetapi ini sudah
waktunya shalat dan dia belum sempat membersihkan diri dari perjalanan
jauhnya.”
“Ah! Bodohnya Abdullah,” Jawab Abdullah memaki dirinya sendiri.
“Aku yang tidak sopan wahai putriku! Aku tahu kau pasti sangat lelah
dan memang ini sudah waktunya shalat. Baik- baik…bersihkan dirimu dan
kita shalat bersama.”
“Insyaallah Tuan Abdullah, terima kasih banyak, Anda benar-benar Tuan rumah yang sangat menyenangkan.”
“Ah Zanimra! Berhenti memanggilku Tuan! Panggil aku Ayah!”
“Baiklah Ayah, dengan senang hati. Saya permisi dulu.”
“Ya, aku akan tunggu kalian di Mushalah.” Abdullah tidak melepaskan
pandangan dari Zanimra dan anaknya sewaktu mereka berjalan
meninggalkannya. Semula ia merasa kecewa dengan perawakan Zanimra yang
biasa saja, tapi setelah berbicara dengan gadis itu, Abdullah merasakan
sesuatu yang berbeda dan sangat kuat, seperti yang selalu ia rasakan
bila bersama anaknya. Zanimra adalah bentuk lain dari Ali! Sebagai ayah
kini ia mengerti mengapa Ali memilih Zanimra, tapi apakah Raja dan Putri
akan memahami apa yang dia rasakan?
Hari itu berlalu dengan riang hingga tibalah malam, Abdullah melihat
gairah hidup pada mata anaknya. Gairah hidup yang tak pernah dia
temukan selama dia mengenal Ali. Abdullah dapat menangkap keyakinan Ali
pada Zanimra dan hal sama pada sebaliknya, kekuatan hubungan batin kedua
insan didepannya dijalin oleh sesuatu ikatan kuat. Abdullah melihat
keindahan yang manis dari jalinan cinta anaknya, tapi Abdullah juga
menyadari, tak semua orang mampu memahaminya. Semakin lama dia melihat
Zanimra dan Ali, Abdullah semakin merasa lapang dan damai. Waktu makan
malampun tiba, tetapi sayangnya Nagosh harus menghabiskan waktu di
tempat tidur karena kelelahan. Ditengah kehangatan makan malam tiba-tiba
seorang pelayan masuk dengat tergesa.
“Maaf Tuan, Putri Aelia datang berkunjung.” Abdullah dan Ali terhenyak.
Ali tak ingin memberitakan perihal Putri Aelia pada Zanimra melalui
surat, tapi karena begitu bahagia Ali lupa untuk memberitahu Zanimra
pada hari itu. Lagipula kedatangan Putri Aelia sungguh diluar dugaan.
“Kami akan menjemputnya di ruang utama.” Jawab Abdullah singkat, pelayan itu bergegas kembali keruang utama.
“Putri Aelia, Putri yang terkenal dengan kecantikannya itu datang?
Subhanallah, kecantikan seperti apakah yang Allah limpahkan padanya
hingga namanya terucap disetiap bibir laki-laki diseluruh dunia?” ujar
Zanimra dengan penuh rasa keingin tahuan.
“Mari anak-anakku, kita sambut tamu agung kita terlebih dahulu.”
Lalu ketiganya beranjak dari kursi makan mereka. Sewaktu memasuki ruang
tamu utama langkah Zanimra terhenti. Matanya begitu silau seperti
melihat bidadar. Ali menyadari keterpanaan kekasihnya, sedangkan
Abdullah yang berjalan didepannya terus menyambut Putri dengan ramah.
Zanimra menoleh pada Ali lalu berbisik,
“Subhanallah wahai kekasihku, demi Allah dia begitu elok rupanya dan
merdu suaranya. Subhanallah, Maha Besar Allah dengan ciptaan yang
berdiri didepanku ini.”
Mendengar kekaguman Ali berbisik ketelinga kekasihnya,
“Ya Zanimra, sungguh kecantikan yang kau miliki lebih memikat hatiku
daripada seribu kecantikan paras wanita yang kau kagumi itu. Kutahu kau
mengerti benar akan maksudku.” Zanimra tersenyum simpul lalu menjawab,
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah. Tiada daya dan upaya tanpa
pertolongan-Nya. Aku mengenalmu wahai Ali seperti engkau mengenalku,
aku percaya padamu Ali seperti engkau percaya padaku. Aku hanya
mengagumi kebesaran Allah yang terlihat didepan mataku.”
Ali dan Zanimra tidak menyadari keakrabannya menjadi sorotan tajam
Putri Aelia, Abdullah yang melihat hal tersebut mencoba mencairkan
kebekuan sikap Putri.
“Ah Putri Aelia, mari aku perkenalkan tamu terhormatku Zanimra.”
Zanimra dan Ali tersadar lalu dengan tersipu Zanimra mendekati sang Putri dan menghulurkan tangannya.
“Assalammualaikum Putri Aelia, subhanallah sungguh senang bertemu dengan Anda.”
“Walaikum salam Zanimra, senang juga bertemu denganmu. Kami tidak sabar
menunggu kehadiranmu diistana.” Zanimra tertegun mendengar perkataan
putri.
“Istana?”
“Ah, jadi Paman Abdullah dan Ali belum memberi kabar padamu bahwa Raja mengundangmu untuk tinggal diistana?”
“Maaf Putri, Zanimra baru saja datang hari ini, belum sempat kami
mengabarkan apapun tentang undangan Raja.” Jawab Abdullah menengahi,
lalu ia melanjutkan,
“Tuan Putri, jika tidak berkeberatan, kami hendak memulai makan malam. Apakah Putri berkenan bergabung bersama kami?”
“Ah maafkan aku mengganggu makan malam kalian, tentu saja aku merasa terhormat menerima tawarnmu Paman.”
“Kehormatan berada pada kami Putri Aelia.” Putri menyadari bahwa
kecantikannya jauh diatas Zanimra, dengan sengaja dia menjajari Zanimra
dengan ramah dan mengajaknya berjalan didepan Ali. Abdullah tahu
perilaku ramah itu hanya siasat Putri untuk membuat Ali melihat
perbandingan kecantikan kedua gadis itu. Abdullah melirik anaknya yang
sedang tersenyum geli, tak ayal Abdullahpun ikut tersenyum geli. Putri
belum juga memahami bahwa apa yang dilihat Ali bukanlah kecantikan paras
Zanimra. Dalam jamuan makan pembicaraanpun berlanjut.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaan kami Zanimra?”
“Alhamdulillah kerajaan ini sangat menyenangkan, dari pelabuhan yang
sangat tertib sudah mencerminkan betapa baiknya ketata negaraan kerajaan
ini.”
“Hmmm… apakah kau pikir kerajaan ini aman?”
“Inshyaallah. Alhamdulillah, kerajaan ini adalah negri yang sangat
makmur, sebuah kerajaan hanya bisa mencapai kemakmuran seperti kerajaan
ini jika keamaan terjaga baik didalamnya Putri. Tapi selain dari hal
itu, saya sering mendengar bahwa Putri Aelia memiliki kesenangan
menjelajah hutan dengan sedikit pengawal dan dayang. Dari kebiasaan
tersebut tercermin betapa amannya kerajaan ini.”
“Ah, jadi kau tahu beberapa hal mengenai diriku?”
“Insyaallah, Putri Aelia…alhamdulillah, Anda sangat terkenal dengan
keelokan rupanya. Saya belajar banyak tentang negara ini dari Ali.”
“Oh? Ali pernah berbicara perihal diriku padamu?”
“Ya, dia berkata bahwa Putri adalah Bulan dari Andimarsedonia.”
“Zanimra, apa menurutmu tentang diriku sekarang setelah kau bertemu denganku?”
“Maha Besar Allah, kecantikan Putri jauh lebih daripada yang saya bayangkan.”
“Apa menurutmu laki-laki yang menikah denganku aku bahagia?”
Zanimra terdiam sesaat,
“Putri terkenal dengan kebaikannya diseluruh negri, kecantikannya juga
tak terperi. Insyaallah barang siapa yang menikahi putri akan bahagia.”
“Apakah kau ikhlas jika orang yang kau sayangi mendapatkan wanita
seperti aku?” Zanimra tersenyum lalu dengan perlahan dia menjawab.
“Demi Allah, jika kecantikan akhlak Putri sebaik kecantikan paras Putri,
laki-laki manapun dibumi akan sangat beruntung. Jika orang yang saya
sayangi mendapatkan yang demikian, maka saya ikhlas.” Lalu putri menoleh
pada Ali dengan tajam,
“Ah! Kau dengar itu Ali? Zanimra rela dan ikhlas jika memang aku lebih
baik darinya!” Zanimra tertegun mendengar kalimat Putri Aelia, sedangkan
Ali tersenyum dengan penuh keyakinan dan melancarkan pandangan tepat
pada mata Putri. Putri tersentak gugup ketika menangkap tatapan tajam
Ali yang sungguh diluar dugaan. Putri Aelia dapat mengangkap keyakianan
luar biasa di mata Ali pada Zanimra.
“Ah Paman, putramu ini sungguh menyiksaku!” Katanya singkat pada
Abdullah. Zanimra yang masih gamang terhadap situasi itu hanya diam
seribu bahasa. Abdullah hanya terdiam menahan senyum. Abdullah merasa
kagum pada putranya.
“Paman, terima kasih atas makan malamnya, saya rasa hari sudah larut.
Sebaiknya saya mohon pamit.” Ucap Putri kemudian dengan lembut dan sopan
berusaha menutupi kekacauan dihatinya. Ingin sekali Putri berteriak
pada Zanimra bahwa ia mencintai Ali, tapi ia tahu ini bukan saatnya.
Dengan berwibawa dan anggun Putri kemudian bertitah,
“ Zanimra, kakakku menunggu kedatanganmu segera.”
“Terima kasih Putri, entah karena apa saya mendapat kehormatan dengan
undangan Raja ini. Saya menerimanya dengan senang hati, insyaallah saya
akan bersedia.”
“Paman, berangkatlah dengan Zanimra bersama rombonganku besok pagi.”
“Baik Putri Aelia. Tapi Ali akan berangkat lusa karena saya memiliki
tugas penting yang harus dia kerjakan besok.” Jawab Abdullah.
“Oh Ali! Kau akan membiarkan Zanimra bersama kami sendirian?”
“Putri, Zanimra bersama ayah saya, isnyaallah saya akan datang keesokan harinya.” Jawab Ali tenang.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih dan selamat malam.”
Abdullah, Ali dan Zanimra melepas Putri Aelia, setelah kereta putri
tidak terlihat lagi Abdullah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ali hanya
tersenyum geli. Zanimra hanya memandang keheranan. Ada banyak
pertanyaan dalam otaknya, dengan akrab Abdullah merangkul pundak
Zanimra, sambil memasuki ruang duduk Abdullah mulai berbicara.
“Ah putriku Zanimra yang manis, pasti kami telah membuatmu kebingungan
dengan kehadiran Putri Aelia dan undangannya itu. Maafkan kami!”
Abdullah duduk di kursi besarnya, Ali dan Zanimra duduk dikursi panjang yang berhadapan dengan Abdullah.
“Baiklah Ali, sebaiknya kau ceritakan apa yang telah terjadi pada putri
manisku ini.” Dengan pelan dan hati-hati Ali menceritakan apa yang
sebenarnya telah terjadi antara dia dan Putri Aelia. Zanimra
mendengarkannya dengan takjub, tapi tak nampak sedikitpun perasaan galau
atau gusar dimatanya. Setelah selesai mendengarkan cerita Ali
Zanimrapun tersenyum kaku.
“Masyaallah, sungguh diluar dugaanku! Ternyata wanita secantik bidadari
itu menyatakan perang dengan diriku?” Mendengar ucapan polos Zanimra Ali
dan ayahnya tertawa.
“Zanimra, aku tak mengenalmu sejauh Ali mengenalmu. Aku minta kau jujur padaku, katakan apa pendapatmu tentang masalah ini?”
“Ayah, apalah arti dunia? Ketidak kekalan. Apa yang terjadi didunia ini
hanyalah bagian dari dunia itu sendiri. Dan bagi Ali dan aku, bukanlah
dunia tujuan akhir kami. Aku percaya pada Ali, tapi terlepas dari itu,
aku percaya pada Allah diatas segala sesuatu. Maka tenanglah selalu
hatiku.”
“Ha ha ha! Putri manisku Zanimra, sungguh aku akan dengar hal yang sama
dari mulut putraku. Demi Allah jika urusan Raja dan Putri ini selasai,
akan kunikahkan kalian segera!”
“Alhamdulillah, Insyaallah Ayah.” Jawab keduanya dengan tersipu.
“Hemh, aku hanya berharap Putri akan memahami cara pandang kalian. Pada
Raja aku optimis dia akan mengerti, tapi Putri Aelia…..aku tak tahu.”
Abdullah menggelengkan kepalanya sambil melenguh…
“Ayah, tenanglah… percayalah pada Zanimra.”
“Ha ha ha, yah aku percaya sebesar rasa percayamu padanya, Ali, Aku akan
tinggalkan kalian berdua. Sungguh kalian tak sempat melepas rindu,
apalagi besok pagi kita harus keistana Zanimra.” Abdullah meninggalkan
kedua insan itu, Ali lalu memanggil seorang dayang terdekatnya untuk
menemani mereka berbincang-bincang.
“Bibi Alima, kau mengasuhku sedari kecil dan mengenalku seperti ibuku
sendiri, tolong jaga kami berdua karena sungguh tidak baik jika kami
hanya berdua karena syaitanlah ketiganya, jika kita bertiga Allahlah
ke-empatnya.” Dayang itu tersenyum lalu duduk diam dipojok ruangan yang
sama. Ujar Ali kepada dayangnya, lalu dia mendekati Zanimra.
“Wahai kesejukan jiwaku Zanimra, sungguh aku rindu akan dirimu.”
“Demi Allah, akupun rindu, tapi jarak yang memisahkan kita adalah hijab yang sangat baik bagi kita Ali.”
“Yah akupun setuju, sungguh aku ingin segera menikahimu sewaktu aku
datang menemui ayah. Dan kau tau tujuanku itu. Diluar dugaan dan kuasaku
Putri bertemu denganku dan membuat hambatan ini.”
“Allah hendak mencoba kesabaran kita, dan hanya orang yang bersabar yang berhak mendapatkan tempat kembali yang baik.”
“Kau benar Zanimra, ini mungkin ujian bagi kita, atau mungkin pula
teguran bagi kita. Sungguh aku selalu beristighfar memohon ampunan Allah
dari kesalahanku dan dirimu.”
“Aku juga berpikir demikian, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha
Bijaksana, kita percaya pada-Nya, apapun yang telah dan akan terjadi
adalah demi kebaikan kita juga. Sungguh aku takut akan murka Allah
padaku.” Ucap Zanimra lirih.
“Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Aku
percaya padamu Zanimra. Percayalah padaku, hatiku tak akan goyah karena
kecantikan atau kekayaan Putri itu.”
“Wahai Ali, aku percaya padamu, jika kau tak benar-benar mencintaiku
maka tak akan berani kau bersumpah padaku atas nama Allah.” Lalu
keduanya tersenyum geli mengingat semua yang terjadi, lama kelamaan
senyum mereka pecah menjadi tawa yang riang.
“Aku benar-benar tak tahu apa rencana Raja padamu Zanimra, berhati-hatilah.”
“Relakah jika kau harus keluar dari negri ini selama-lamanya Ali?”
“Dunia…apalah artinya dunia Zanimra?” kembali keduanya tersenyum.
Dayang Alima yang sedari tadi memperhatikan menggelengkan kepalanya
dengan kagum pada pasangan majikannya itu. Dia dapat mendengar semua
pembicaraan majikannya karena memang majikannya tak ingin ada fitnah
atau aib yang muncul.
“Baiklah, sebaiknya kau tidur Zanimra, aku harus lebih bersabar dengan kerinduanku padamu.”
“Ya Ali, demikian halnya sama denganku. Kita memang harus lebih bersabar.”
Ali mengantarkan Zanimra ke kamarnya diikuti Alima, lalu dia bergegas kekamarnya sendiri penuh senyuman bahagia dan syukur.
Pengakuan Abdullah
Pagi menjelang tanpa terasa, Abdullah tergopoh-gopoh menuju
keretanya diikuti Zanimra dan Ali. Tiba saatnya ujian bagi mereka yang
datang dari Raja. Zanimra telah menunggu bersama Ali dipintu kereta
kuda, Nagosh yang masih kelelahan tidak dapat menemani Zanimra keistana,
sehingga Zanimra harus pergi sendiri.
“Ayah, aku titip Zanimra padamu.”
“Ali, apakah kau tak melihat? Zanimra terlihat jauh lebih tenang
daripada aku. Aku rasa dia yang malah akan menjagaku nantinya,” gurau
Abdullah menggoda Ali. Zanimra hanya tersenyum simpul.
“Insyaallah Ya Ayahku,” Sambut Ali dengan tawa. Abdullah masuk kedalam kereta kudanya terlebih dahulu.
“Hati-hatilh Penyejuk mataku,” bisik Ali lirih pada kekasihnya.
“Kau juga, semoga Allah selalu bersama kita, amin.”
“Amin, assalammualaikum.”
“Walaikum salam.”
Keretapun berlalu, Ali amat pasrah kepada Allah akan nasib kekasihnya.
Ali berdoa semoga Allah menjaga hati Raja dari godaan syaitan sehingga
dapat melihat kelebihan Zanimra yang sesungguhnya.
Didalam kereta Abdullah diam-diam memperhatikan Zanimra yang sedang
sibuk memperhatikan sekelilingnya sepanjang perjalanan. Dia menangkap
expresi wajah Zanimra yang sering berubah.
“Hai Zanimra, apa yang sedang kau pikirkan? Sedari tadi aku perhatikan,
reaksi wajahmu selalu berubah. Kadang kau tersenyum, lalu termenung
sedih dan mulutmu selalu bergerak.”
“Ah maaf Ayah, sudah menjadi kebiasaanku yang sulit hilang. Aku
mengerti, Ayah bukan satu-satunya orang yang bertanya. Baiklah, semoga
penjelasanku akan menyingkirkan prasangka buruk.” Zanimra meluruskan
duduknya yang sedari tadi dimiringkan menghadap jendela. Sama seperti
Ali, jika dia berbicara pada orang, dia selalu dengan penuh menghadapkan
tubuh dan pandangannya pada orang yang diajaknya bicara.
“Ayah, Ini adalah kali pertama aku di kerajaan ini. Tak sedikitpun aku
ingin membuang kesempatan dalam perjalanan ini untuk memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi disepanjang jalan yang kulalui. Tak
pernahkan Paman memperhatikan, bahwa banyak sekali adegan kehidupan
nyata yang secara sekilas yang kita lewati dapat menjadi pelajaran bagi
kita?”
“Hm, aku mulai tertarik. Lanjutkan.”
“Banyak Ayat dalam Al-Qur’an yang memperingati tentang banyak kejadian
dimuka bumi ini, dan sebagian besar dari peringatan itu akan diikuti
dengan kalimat…”… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. Lalu banyak juga
ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi, ‘…sesungguhnya segala sesuatu yang
terjadi telah tertulis dalam kitab Allah.’
Dari ayat-ayat tersebut, kita dapat mengambil makna global, bahwa
sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini, bahkan
perjalanan yang kita lakukan ini telah diatur oleh Tuhan Yang Maha
Agung, Allah. Bahkan jatuhnya selembar daun dari pohonnya juga sudah
merencanakan rencana tertulis dari Allah. Tidak satupun yang kita anggap
sebagai kebetulan diluar dari rencana dan diluar dari pengetahuan
Allah. Dan sungguh sangat banyak ayat dalam Al Qur’an yang meminta kita
untuk berfikir. Berfikir itu dapat mematahkan sihir, insyaallah.”
Abdullah tersenyum, semangat yang dipancarkan mata Zanimra membiaskan
rasa kecintaan yang dalam pada apa yang sedang ia utarakan.
“Ya Zanimra, kau benar.”
“Alhamdulillah, Ayah tuaku yang bijak, apakah tidak akan menarik hatimu
untuk melihat mencari petunjuk Allah dan mengambil pelajaran dari
kejadian-kejadian yang terjadi disepanjang jalan ini?”
Abdullah termenung, sungguh Zanimra lain dari kebanyakan gadis yang
pernah dia temui selama ini. Bagi kebanyakan orang, kejadian
sekelilingnya hanyalah kegiatan sehari-hari dan mereka tak akan
memperhatikan hal-hal itu seperti Zanimra.
“Sungguh menarik apa kata-katamu itu Zanimra, kalau begitu katakan
padaku, apa yang sejauh ini kau dapatkan dari balik jendela kereta ini?
Kulihat kau tersenyum, apa yang membuatmu tersenyum?”
“Entah kejadian mana yang pasti yang dimaksud ayah, ada beberapa
kejadian yang membuatku tersenyum. Tapi ada satu kejadian yang paling
membuatku terharu. Dipersimpangan pertama memasuki gerbang kota kita
berhenti beberapa waktu untuk memperbaiki roda depan yang rusak. Ada
seorang pemuda yang tiba-tiba berhenti ditengah jalan lalu menjatukhan
tas besar bawaannya tepat didepan sebuah kereta yang darang dari arah
berlawanan. Kusir kereta kebingungan karena tiba-tiba pemuda itu berlari
ketepi jalan yang semula dengan meninggalkan tas besarnya. Ternyata
seorang kakek sangat renta dengan tongkatnya melambai-lambai ingin ikut
menyeberang. Lalu lintas kota ini memang tak terlalu ramai, tapi untuk
kakek yang jalannya sangat lambat, jalan kereta yang lambatpun akan
membuat lututnya kelu. Pemuda itu menghampiri kakek itu lalu
menggendongnya dibelakang, lalu ia lari lagi mengambil tas besarnya dan
karena beban bertambah, akhirnya dia berjalan menyeberang sambil minta
maaf dan berterima kasih pada sang kusir.”
“Ah, tapi mengapa pemuda itu mempertaruhkan tas besarnya dengan resiko
digilas kusir kereta atau dibuang ketepi oleh sikusir. Mengapa dia tidak
kembali ketepi jalan lalu menunggu bersama si kakek hingga kereta itu
lewat saja?”
“Aku juga sempat berpikir demikian ayah, sewaktu pemuda itu lari
menjemput si kakek aku melihat keseberang jalan yang hendak mereka tuju,
ternyata disana telah menunggu sebuah perahu angkutan yang akan
berjalan. Pemuda itu tak ingin ditinggalkan perahu angkutan itu dan juga
tak ingin membiarkan kakek itu. Seperti dugaan pemuda itu, kakek itupun
sedang mengejar perahu yang sama.”
“Ha ha ha! Ternyata si tua Abdullah ini mendapat pelajaran dari seorang
gadis belia sepertimu hai Zanimra, sangat menarik! Kurasa mulai sekarang
aku akan lebih banyak memperhatikan jalan daripada tidur dalam kereta,
ha ha ha….” Lalu Abdullah berbicara serius,
“Apakah kau ingat wajah pemuda itu Zanimra?”
“Sungguh Ayah , aku memiliki kekurangan dalam mengingat wajah orang.
Maafkan aku. Tapi aku rasa aku akan ingat si kakek tua itu.”
“Ah kurasa itu sudah cukup, aku sedang mencari kurir yang bisa
kupercaya. Kurasa pemuda itu cocok, ah Zanimra, jika saja aku melakukan
apa yang kau lakukan, niscaya aku sudah memiliki seorang pegawai yang
cakap dan berbudi!”
“Semoga kita berjodoh untuk bertemu dengannya lagi Ayah, insyaallah.”
“Insyaallah, lalu adegan seperti apa yang membuatmu sedih Zanimra?”
“Segala sesuatu yang membuat Allah murka dan benci adalah hal yang
membuatku sangat takut dan sedih Ayah.” Air muka Zanimra yang semula
ceria berubah dengan drastisnya.
“Sungguh Ayah, banyak sekali manusia yang lupa akan Penciptanya. Itu
yang membuatku amat takut dan sedih. Aku sedih akan nasib mereka di hari
akhir nanti, tapi terlabih aku takut jika aku menjadi salah satu dari
mereka.
Ketika aku memasuki keramaian kota, aku lihat hal seperti itu. Aku tahu
kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur. Karen kemakmuran itulah
kulihat banyak ke-alpaan yang manusia lakukan. Aku banyak melihat
laki-laki yang memakai pakaian dan jubah terbuat dari sutra penuh,
sungguh Rasulullah pernah bersabda, tidak akan memakai sutra di surga
bagi laki-laki yang memakai sutra lebih dari selebar ini,” ujar Zanimra
memperlihatkan selendang kecilnya. Abdullah mengangguk setuju.
“Kerajaan ini adalah kerajaan dengan mayoritas penduduk beragama Islam,
tapi yang kulihat didalam kota banyak wanita yang mempertontonkan
kecantikannya dan mencabut alisnya… Ah Ayah, sungguh itu membuatku
ngeri, Rasulullah bersabda, “Laknatullah…. Laknat Allah …bagi wanita
yang menyukur alisnya. Betapa pedih murka Allah, terlebih lagi ‘Laknat’
Allah.”
Abdullah sungguh terpana dengan tutur Zanimra selama ini. Segala
keraguan dan rasa was-was didalam hatinya tentang nasib anaknya dan
Zanimra hilang. Abdullah mengakui secara tulus, Putri Aelia sedang
berhadapan dengan lawan yang amat sulit. Abdullah semakin mengerti akan
perasaan Ali pada Zanimra dan mengapa tak sedetikpun Ali ragu akan
keputusannya. Tapi walaupun Putri Aelia sangat cerdas, kebijakan hatinya
yang belia masihlah berdiri dibalik dinding kecintaan pada dunia,
seperti apa yang diucapkan Zanimra, banyak manusia yang melupakan
Penciptanya.
“Masya Allah Zanimra, sungguh kau adalah pilihan dari Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.”
Abdullah menahan pertanyaannya tentang bibir Zanimra yang terus
bergerak, karena ia sudah tahu jawabannya. Meskipun semula Abdullah
ingin memperingati Zanimra, karena dia sadar akan banyak orang
berprasangka buruk tentang perilaku Zanimra di istana nanti. Abdullah
merebahkan kepalanya dengan damai di sandaran kereta, dengan perlahan
dia menggumam hingga tak terdengar oleh Zanimra.
“Ah putriku Zanimra, meskipun bulan cantik, tetapi saja tetap saja tak mampu mengalahkan cahaya matahari.”
Melihat Abdullah memejamkan mata, Zanimra kembali asyik dengan jendela
keretanya. Tiba-tiba Abdullah berkata masih dengan mata terpejam,
“Zanimra, jadilah mataku saat ini dan ceritakan padaku hal-hal yang
menarik yang kau nanti malam padaku.” Zanimra tersenyum, “Baik Ayah.”
Kereta Abdullah akhirnya tiba di istana peristirahatan Putri Aleia, dia
telah menunggu disana. Putri Aelia bersikeras agar Abdullah dan Zanimra
duduk satu kereta dengannya.
“Zanimra, bagaimana tidurmu malam ini?”
“Alhamdulillah, tidur saya nyenyak. Semoga Putri mengalami hal yang sama.”
“Masya Allah, belumkah Abdullah dan Ali bercerita padamu?” Tanya putri terheran mendengar jawaban Zanimra yang sangat tenang.
“Jika yang Putri maksudkan adalah lamaran Putri terhadap Ali, kami telah
memberitahukan hal itu pada Zanimra.” Sahut Abdullah denan hormat.
Putri Aelia merasa amat takjub, setelah mengetahui bahwa Zanimra tengah
bersaing dengannya, tak sedikitpun ia menangkap kegusaran dimata
Zanimra.
“Zanimra, apakah kau juga terbuat dari es seperti Ali?” ucapnya tanpa
sadar, Abdullah yang mendengarnya tak mampu menahan tawanya. Sedangkan
Zanimra hanya tersenyum manis.
“Mengapa tak terpancar sedikitpun rasa khawatir dirimu Zanimra? Apakah yang membuatmu sangat percaya diri?”
Zanimra menjawab dengan satu kata sambil tersenyum,
“Allah.” Abdullah diam-diam tertawa geli melihat kebingungan diwajah
Putri Aelia, seperti dugaannya, Putri Aelia belum bisa memahami jalan
pikiran Zanimra.
“Tidakkah kau takut atau benci pada diriku Zanimra?”
“Mengapa saya harus merasa demikian?”
“Karena aku ingin merebut Ali darimu.”
“Saya akui, kecantikan paras tuan Putri tak tertandingi. Tapi jika Putri
benar-benar mengenal Ali, maka putri akan merasakan apa yang saya
rasakan saat ini.”
“Zanimra! Bukankah laki-laki dimuka bumi ini semua sama saja? Hiburan
apalagikah dari wanita yang mereka dambakan selain dari kesempurnaan
wajah, otak dan budi pekertinya? Seperti ucapanmu semalam, kau menilaiku
sebagai wanita yang bertabiat baik dan terpelajar sepertimu. Apa yang
membuatmu merasa tenang seperti itu, sedangkan aku memiliki beberapa
kelebihan atasmu.”
“Putri Aelia yang bijak, bukankah karena Ali tidak seperti kebanyakan
laki-laki dimuka bumi ini Putri menginginkannya?” tak ayal Abdullah
merasa sakit perut karena begitu hebat dia mencoba menahan tawanya.
Zanimra membalikan pertanyaan Putri Aelia dengan amat telak. Putri Aelia
tampak salah tingkah dibuatnya.
“Sungguhkah kau seyakin itu bahwa Ali tak akan berubah pikiran, ingat
kata-katamu semalam Zanimra, kau akan ikhlas jika orang yang kau kasihi
memiliki yang lebih baik?”
“Baiklah Putri, bolehkah saya balik bertanya?”
“Silahkan.”
“Apakah Putri benar-benar mencintai Ali.”
“Jika tidak, aku tak akan memperjuangkan dia seperti ini.”
“Ya, dan Putri mencintai Ali karena dia laki-laki terhormat yang jujur dan baik bukan?”
“Benar adanya.”
“Apakah perasaan Putri akan berubah jika tiba-tiba wajah Ali rusak?”
“Tidak! Aku akan terus mencintainya.”
“Jika demikian, mengapa Putri begitu yakin Ali akan merubah cintanya
hanya karena wajah dan tubuh saya tidak secantik Putri?” tenggorokan
Putri Aelia tercekat, Abdullah sekuat tenaga untuk tidak tertawa melihat
expresi wajah bidadari didepannya itu memerah semerah tomat segar.
Putri Aelia sadar akan posisinya, dia memilih untuk diam sebelum
pertanyaannya membuat dia semakin kecil dihadapan Zanimra. Didalam hati
Abdullah menyayangkan kondisi mental Putri yang kacau karena cintanya
yang begitu membara pada Ali. Ketangkasan berpikir dan bersilat lidahnya
menjadi kabur, Putri Aelia mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Yang
membuat Zanimra dapat mematahkan setiap kalimat Putri Aelia hanyalah
ketenangan dan keyakinan Zanimra yang begitu kuat sehingga pikirannya
jernih. Abdullah mengenal Putri sejak kecil, kecerdasan intelektual
Putri tak kalah dengan Zanimra, tapi pengendalian emosi dan keyakinan
Putri masih jauh dibawah Zanimra. Akhirnya Putri memutuskan untuk
berbincang-bincang dengan Abdullah tentang masalah-masalah kerajaan.
Zanimra mendengarkan dengan penuh rasa tertarik.
Gadis Bertelanjang Kaki dan Perjanjiannya
Perjalanan menempuh waktu tiga perempat hari, di tengah perjalanan
rombongan Putri beristirahat di tempat peristirahatan keluarga kerajaan
yang terdapat dipinggir sebuah desa pertanian yang sangat rapi.
Begitu turun dari kereta, Putri Aelia disambut sangat hangat oleh
penduduk setempat. Zanimra dapat melihat keramahan Putri bada rakyatnya.
Dia tersenyum ketika Putri turun ketengah ladang sayur dan berbicara
langsung dengan petani yang sedang bekerja disana. Sungguh sosoknya amat
menyilaukan ditengah ladang itu.
“Ayah, desa ini kecil tapi sangat menarik,”
“Tentu saja, desa ini khusus dibangun sebagai tempat persinggahan
bangsawan. Hasil pertanian disini juga diperuntukan bagi keluarga
kerajaan.”
“Putri Aelia nampak seperti bidadari ditengah penduduk yang berkerumun itu.” Guman Zanimra.
“Hei Putriku, apakah kau kehilangan rasa percaya dirimu?”
“Masyaallah Ayah, bukan begitu. Hanya saja aku tak bisa berhenti
mengagumi keindahan yang sedemikian rupa sampai aku tak bisa
membayangkan bagaimanakah keindahan bidadari disyurga nanti. Jika
seluruh penghuni syurga keindahannya dapat melebihi Putri Aelia,
bagaimanakah keindahan syurga itu sendiri?… Terlebih lagi, bagaimanakah
keindahan dari Dzat Penciptanya?……Sungguh aku gemetar jika
membayangkannya….subhanallah….subhanallah…….” Abdullah tertegun, selama
ini diapun mengagumi kecantikan Putri Aelia, tapi tak pernah dia
berpikir sejauh Zanimra.
“Hem, bagaimana menurutmu sejauh ini tentang Putri Aelia?”
“Saya kagum akan kecerdasannya dibidang ketata negaraan, terlebih lagi
sekarang ini, kecantikannya tidak membuatnya angkuh. Tak segan dia turun
keladang untuk berbicara pada petani tentang tanaman-tanaman itu. Dia
adalah Putri sejati, seorang wanita pemimpin yang baik. Sayang sekali
dia sedang berjalan diatas pematang yang salah.”
“Pematang yang salah? Apa maksudmu?”
“Rasa cintanya Ayah, rasa cintanya yang dapat menghancurkan.” Guman Zanimra sedih.
“Sayang memang, dia mencintai Ali setelah Ali bertemu denganmu.”
“Bukan itu Ayah, jikapun dia mendapatkan Ali sebelum Ali bertemu
denganku, cinta yang dimiliki putri tetap akan menghancurnya.” Abdullah
mengangguk setuju.
“Apa yang akan kau lakukan Zanimra?”
“Semoga Allah memberikan aku kekuatan untuk menolongnya.”
“Amin.” Sahut Abdullah tulus. Sekarang dia benar-benar mengerti mengapa Ali begitu yakin akan kekasihnya ini.
Tiba-tiba sebuah bola menggelinding dikaki Zanimra, seorang anak
perempuan melihat bola itu dengan malu-malu. Zanimra memungut bola itu
dan menghampiri gadis kecil yang dibelakangnya berdiri segerombolan anak
lainnya.
“Assalammualaikum, gadis cantik, apakah ini bolamu?”
“Walaikum salam, Iya itu bola saya.”
“Boleh aku bermain dengan kalian?” Anak itu terkejut, mendadak anak laki-laki dibelakang gadis cilik itu berkata lantang.
“Wah tidak adil nanti jadinya!”
“O? kenapa begitu?” tanya Zanimra menggoda.
“Tubuhmu lebih besar dari kami, kami pasti kalah.” Ujar anak laki-laku itu lagi.
“Hummm…… tapi aku pakai rok yang panjang, lariku tak dapat secepat
kalian. Apakah itu masih tidak adil?” Gerombolan anak itu saling
memandang untuk beberapa saat, kemudian tertawa kecil.
“Iyah, kakak larinya jadi pendek seperti kami!” canda anak-anak itu riang.
“Jadi…aku boleh ikut bermain?”
“IYA…” jawab anak-anak itu serempak. Maka Zanimra melepaskan sepatunya
lalu ikut berlarian bersama anak-anak petani itu. Abdullah tertawa
terpingkal-pingkal melihatnya. Dia sungguh tak habis pikir pada Zanimra,
didepan keanggunan dan keindahan Putri Aelia yang luar biasa, dia
melepas sandalnya untuk bermain bersama anak-anak diatas tanah berumput.
Dari seberang yang berlawanan Putri Aelia tercengang melihat kejadian
itu. Dia bersaing dengan seorang gadis yang saat ini bertelanjang kaki
berlarinan kesana kemari mengejar bola bersama anak-anak kecil. Dalam
hati dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia sedang bersaing dengan
gadis itu. Putri merasa khawatir dengan penilain penduduk karena Zanimra
turun dari satu kereta dengannya. Seperti yang dia duga perhatian para
petani didekatnya tertuju pada Zanimra, Tapi diluar dugaannya, mereka
tertawabahkan beberapa diantaranya ikut bersorak.
“Sungguh baik sekali putri itu, dia mau bermain bersama anak-anak kita
seperti itu!” Celetuk seorang wanita paruh baya tanpa sadar bahwa
didekatnya a berdiri Putri Aelia
“Iya, putri kepala desa saja tak akan sudi melepas sandalnya untuk bermain bersama mereka.” Sahut petani lainnya.
“Ah aku merasa seperti sungguh dihormati sebagai bangsawan!”
Ketika menyadari keadaannya dia buru-buru minta maaf dengan muka pucat pada Putri Aelia.
“Maafkan perkataan saya Putri, saya tidak bermaksud merendahkan Putri
dengan perkataan tadi.” Putri Aelia hanya tersenyum mengangguk.
“Kamu tak bersalah.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Maaf Putri, jika diijinkan saya bertanya, siapakah putri itu? Bukankah
dia datang satu kereta dengan Tuan Putri?” Tanya kepala perkebunan
dengan sedikit ragu pada Putri Aelia.
“Dia tamu undangan Raja.”
“MasyaAllah, Sungguh luar biasa! Jarang anak-anak dapat menerima orang
dewasa untuk bermain bola bersama mereka. Terlebih lagi, sungguh langka
seorang tamu kehormatan raja bersikap ramah seperti itu. Siapakah
namanya?”
“Zanimra.”
“Nama yang sangat asing.”
Putri Aelia jadi merasa canggung berdiri disana sedangkan sekelilingnya
memperhatikan Zanimra dengan pandangan cinta. Mereka baru saja melihat
Zanimra, tapi dengan cepat Zanimra dapat memikat hati banyak orang.
Diapun berpamitan pergi, lalu menghampiri Abdullah yang masih terus
tertawa.Untuk kesekian kalinya Putri merasa dipatahkan.
“Ya Abdullah, sungguh apa yang dilakukan Zanimra?”
“Oh Putri, maafkan saya, sungguh lucu sekali putriku itu berlari dengan
rok panjangnya yang sedikit sempit. Anak-anak terus tertawa sambil
mengejarnya.”
“Yah, aku dapat melihatnya, dan seluruh orang disinipun
memperhatikannya.” Jawab Putri dingin. Mendengar nada datar Putri,
Abdullahpun menghentikan tawanya.
“Aku mendengar dari Ali, Zanimra sangat menyukai anak-anak, jika melihat
anak-anak dia akan berubah seperti anak-anak. Sekarang saya bisa
melihatnya secara langsung.”
“Apakah kau pikir pantas jika seorang Putri undangan Raja bertingkah laku demikian Abdullah?”
“Ehm, maafkan saya Putri, yang saya lihat dari mata penduduk adalah rasa
kagum dan hormat pada Zanimra, apakah itu suatu hal yang buruk?” Putri
tertegun, dalam hati diapun mengakui bahwan Abdullah benar. Tapi rasa
persaingan dihatinya telah membuatnya memupuk rasa iri yang semakin
mengaburkan presepsinya. Akhirnya Putri Aelia mengajak Abdullah
menemaninya untuk duduk di beranda.
Tak lama kemudian permainan anak-anak dan Zanimra selesai, mereka
duduk diatas tikar yang disediakan penduduk. Satu persatu petani
mendatangi dan memberi salam pada Zanimra. Mereka tampak sangat senang
ketika Zanimra dengan lahap memakan buah yang diberikan penduduk. Mereka
lebih takjub lagi ketika Zanimra menyuapi beberapa anak yang bersandar
dipangkuannya.
“Sungguh siapakah dirimu wahai putri yang baik?”
“Alhamdulillah jika kau menganggapku baik. Aku adalah orang biasa
seperti kalian juga, janganlah panggil aku Putri, karena aku bukan
berasal dari keluarga bangsawan.”
“Tapi Putri Aelia mengatakan bahwa, kau adalah tamu undangan kerajaan.
Sungguh kedudukanmu diatas kami semua wahai Putri. Kami hanya petani.”
“Alhamdulillah aku mendapat kehormatan itu dari Raja, pemimpin dari
negara ini. Tapi tetap saja aku ini adalah tamu kalian dan kalian adalah
tuan rumahnya. Makanan yang kumakan sekarang ini adalah pemberian
kalian, mengapa kedudukanku lebih tinggi dari kalian sedangkan kalian
yang memberi hadiah dan aku yang menerima?”
“Sungguh kami merasa terhormat dengan duduk ditikar yang sama denganmu.”
“Sesungguhnya aku lebih merasa terhormat diijinkan bermain dengan anak-anak kalian.”
“Kakak, gelangmu bagus!” celetuk gadis kecil yang sedang bermain dengan tangan Zanimra.
“Ah, Salama, kau suka?”
“Iyah, indah sekali warnanya!”
“Ambillah jika kau mau.” Penduduk makin tercengang melihat Zanimra membiarkan gadis kecil itu membuka gelang dari tangannya,
“Eh, tunggu dulu. Kau boleh memilikinya jika kau janji dua hal padaku.”
Kata Zanimra tiba-tiba sambil menahan tangan anak yang dipanggil
Salamah.
“Apa itu?”
“Patuh pada orang tuamu dan takutlah pada Allah, jangan pernah tinggalkan shalatmu.” Gadis itu mengangguk setuju.
“Jika lain kali, insyaallah jika kakak datang dan orang tuamu mengatakan
bahwa kamu melanggar janji, aku akan meminta kembali gelang ini darimu.
Setuju?”
“Iya, aku berjanji kakak!”
“Baik, siapa orang tua dari Salama?”
“Saya Pamannya, Hasan”
“Baik, Paman Hasan sebagai saksi! Salama, Insyaallah jika kau memegang
janjimu disaat aku datang nanti, aku akan memberi hadiah yang lebih lagi
dari gelang ini.”
“Benarkah? Kakak aku janji!” Kemudian Hasan, paman dari Salama bertanya
heran, “Nona Zanimra, mengapa kau mengadakan perjanjian dengan Salama,
bukankan dia hanya seorang anak kecil?”
“Paman Hasan, sesungguhnya anak-anak akan mengingat janji dan
memegangnya dengan seluruh kepercayaannya yang tulus. Jika kita
melanggar janji pada mereka, maka kepercayaan mereka kepada kita akan
musnah. Jadi berhati-hatilah dalam memegang janji pada siapapun,
terutama pada anak-anak.”
“Jadi kakak janji akan datang lagi?” tanya Salama lagi.
“Tidak Salama, aku berkata Jika aku datang lagi, Insyaallah. Aku tidak
tahu apakah aku bisa datang lagi atau tidak dikemudian hari, tapi jika
aku datang lagi aku akan menagih janjimu dan jika kau menepatinya aku
akan memberikan hadiah yang lain padamu. Dan aku berjanji, jika Allah
mengijinkan, aku akan datang lagi.”
“Aku berharap kakak akan datang lagi dan lagi!” Ucap Salama keras-keras, mengundang tawa yang lain.
“Insyaallah Salama, selalu ucapkan Insyaallah.” Sahut Zanimra lembut.
“Insyaallah!” celetuk Salama dengan logat yang lucu.
“Nah, untuk anak-anak lainnya, apakah mau mengikat perjanjian denganku?
Jika mau aku akan mencarikan beberapa hadiah untuk kalian.” Kata Zanimra
lagi pada anak-anak yang lain. Serentak yang lain menyetujui. Zanimra
tersenyum ceria, diapun melangkah pergi menuju kereta kuda. Abdullah dan
Putri melihat Zanimra yang tergopoh-gopoh membuka tas besarnya.
“Sedang apa kau Zanimra?” Tanya Abdullah penasaran.
“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan anak-anak Ayah.”
“Perjanjian dengan anak-anak? Apa maksudmu?” Tanya Abdullah semakin heran. Putri Aeliapun ikut penasaran.
“Jika Ayah ingin tahu, ikutlah denganku.” Abdulahpun meminta ijin pada putri,
“Bolehkah saya permisi untuk melihat perjanjian itu Putri?”
“Aku sendiri penasaran hai Abdullah, sungguh Zanimra itu aneh-aneh
saja.” Maka mereka berdua turun dari beranda Pondok dan menghampiri
Zanimra.
“Ah Ayah, adakah sesuatu benda yang bisa kau berikan padaku sebagai hadiah yang cocok bagi anak laki-laki?”
“Hem…yang kumiliki hanya teleskop kecil ini.”
“Bagus sekali! Bolehkah aku memintanya?”
“Ambillah putriku.” Zanimra meletakkan beberapa benda kecil diatas selembar kain hijabnya.
“Yang kumiliki kurasa sudah cukup untuk enam anak, dua gadis kecil dan
empat anak laki-laki, nilai masing-masing benda tak jauh berbeda, kurasa
ini cukup adil.” Gumamnya pada diri sendiri.
“Bagaiman menurutmu ayah, apakah nilai benda-benda ini cukup adil?”
Abdullah memperhatikan benda-benda tersebut dan dia mengangguk setuju.
Zanimra mengambil beberapa selendang lagi dari tasnya lalu bergegas
menghampiri petani yang masih duduk menunggunya diikuti Abdullah dan
Putri Aelia.
Setibanya disana Zanimra membagikan benda-benda tadi sesuai dengan
pilihan setiap anak,. Lalu Zanimra melakukan perjanjian yang sama
seperti yang dilakukannya dengan Salamah. Dari setiap anak dimintanya
seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan. Setelah selesai
dengan semua anak-anak diapun bertanya,
“Apakah kalian semuanya senang dan ikhlas?”
“Kami senang sekali!”
“Anak-anak, ingat, apapun hadiah yang ada ditangan kalian bukanlah
dariku, tapi dari Allah semata. Aku hanya sebagai alat penyalur berkah
dan rahmatnya, jadi ucapkanlah…. Alhamdulillah. Sebagaimana benda yang
ada ditanganmu itu Rahmat/pemberian Allah yang datang melalui tanganku,
jika kalian melanggar janji, maka karena Allah pulalah aku akan
mengambilnya kembali, apakah kalian mengerti?”
“Kami mengerti,”
“Jika kalian mengerti, sekarang katakan kepadaku, Demi siapakah kalian memegang akan memegang janji?”
“Demi Allah!” jawab anak-anak serempak,
“Mengapa demikian?”
“Karen Allah-lah yang memberikan hadiah ini melalui tangan kakak dan
Allah pula yang akan mengambilnya dari kami melalui tangan kakak jika
kami melanggar janji.”
“Insyaallah jika Allah memberi kesempatan pada kakak. Alhamdulillah
kalian mengerti….. subhanallah, kalian memang anak-anak yang cerdas.”
“Ingat janji kalian baik-baik, patuhlah pada orang tua, takutlah pada Allah dan dan kerjakanlah shalat lima waktu.
Q.S. Al Fath:10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada
kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya
akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya
pahala yang besar. ”
“Kami berjanji.” Jawab anak-anak secara serempak lagi.
“Para saksi, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kalian menjadi
saksi, sungguh aku hanya dapat memberikan ini sebagai ucapan terima
kasihku yang sangat.”
Zanimra membagikan beberapa selendang sutra miliknya yang diterima dengan suka ria.
“Nona, seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu, karena
perjanjianmu membuat kami sadar akan dari mana datangnya rezeki yang
kami dapatkan sekarang ini. Sungguh kami jarang sekali bersyukur.
Berjanjilah untuk sering berkunjung jika kau berkesempatan.”
“Insyaallah jika memang saya memiliki kesempatan dilain hari, jagalah
anak-anak ini dalam memegang janjinya, sesungguhnya janji yang mereka
ucapkan adalah janji seluruh manusia kepada Allah. Aku hanya mencoba
mengingatkan mereka. Semoga pada usianya yang tepat mereka akan mengerti
keseluruhan dari maksud perjanjian ini.”
“Amin.” Jawab semua yang hadir secara serempak.
“Baiklah, selagi aku sempat, maukah kalian mendengar sebuah kisah
tentang dua petani dan kebunnya?” Dengan hampir berbarengan yang hadir
menyetujui,
“Kami akan senang mendengarkannya.”
“Insyaallah, alhamdulillah… cerita ini terdapat didalam Al-Qur’an,
semoga kita semua mendapat Rahmat Allah untuk mendapat pelajaran
darinya.” Zanimra diam sebentar lalu membuka Al-Qur’an kecil yang selalu
dibawanya.
“Bismillahirohmaan nirrohiim, Surat Al Kahf ayat 32-46;
32. Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki,
Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah
kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma
dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
33. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada
kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua
kebun itu,
34. dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya
(yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak
dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.
35. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri;
ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
36. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika
sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat
tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
37. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap
dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang
laki-laki yang sempurna?
38. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
39. Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu
“MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah
semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan
keturunan,
40. maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih
baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan
ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi
tanah yang licin.
41. atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”.
42. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua
tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk
itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata:
“Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan
Tuhanku”.
43. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.
44. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.
45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia
adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi
subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan
itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.” Zanimra menutup Qur’annya.
“Sungguh ceritamu membuat kami semakin sadar dan takut kepada Allah,
kami berlindung kepada Allah dari kesombongan seperti yang dilakukan
petani pertama itu.” Kata seorang petani dengan tulus, yang lainnya
mengangguk-angguk setuju. Zanimra tersenyun bahagia, dia begitu
bersyukur karena Allah begitu Pemurah melembutkan hati orang-orang yang
ditemuinya hari ini, dengan senyum lebar dia berkata lagi.
“Sungguh banyak sekali cerita menarik dan pengajaran penuh rahmat dari
Allah di dalam Al Qur’an. Bacalah Al Qur’an, hatimu akan merasa tenang
dan bahagia, insyaallah.
Q.S. Yusuf:111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman.
Abdullah kali ini benar-benar dibuat tercengang oleh tingkah laku
Zanimra, tak jauh beda dengan Putri Aelia, dia semakin tercekat melihat
kejadian itu. Akhirnya Zanimra minta Abdullah untuk memimpin shalat
berjama’ah dibawah pohon itu. Selesai shalat merekapun melanjutkan
perjalanan ke istana. Suasana hening karena tak satupun berbicara,
Zanimra masih asyik dengan kain katun yang diberikan penduduk setempat
sebagai kenang-kenangan.Tiba-tiba Putri melontarkan pertanyaan karena
tak tahan menahan rasa penasarannya,
“Zanimra mengapa kau melakukan perjanjian seperti ini dengan anak-anak?”
“Karena aku ingin mengajarkan pada anak-anak tentang perjanjian.”
“Apakah kau pikir mereka akan memegang janjinya? Mereka hanya anak-anak.”
“Bukankan pelajaran lebih baik dimulai dari dini? Anak-anak sangat kuat
daya ingatnya dan sangat rapuh kepercayaannya. Jika aku melanggar
janjiku, mereka akan mencabut kepercayaannya dariku dan akan mengingat
hal itu selamanya. Tapi yang terpenting disini, anak-anak mengerti dari
siapa hadiah itu datang dan untuk siapa perjanjian itu sebenarnya
dilaksanakan. Dan demi siapa mereka akan memegang janjinya. Semua karena
Allah semata. Aku ingin anak-anak memahami, bahwa darimanapun atau
siapapun datangnya rezeki sesungguhnya semua itu datang dari Allah. Dan
hanya pada Allah seharusnya mereka bersyukur.”
“Apakah kau merencanakan hali ini Zanimra?”
“Bagaimana mungkin saya merencanakannya jika saya baru saja menginjak pedesaan itu?”
“Bagaiman kau bisa berbuat demikian jika tidak kau rencanakan?”
“Alhamdulillah, Allah-lah yang menginginkannya terjadi. Hal itu terlintas dipikiranku ketika si kecil Salamah meminta gelangku.”
“Jika Salamah tidak menerima perjanjian itu, kau tak akan memberikan gelang itu padanya?”
“Tidak.”
“Bukankah itu kejam?”
“Yang kutawarkan dalam perjanjian itu jauh lebih berharga dari gelangku Tuan Putri.” Putri tertegun mendengar jawaban Zanimra.
“Yang kuminta pada Salamah adalah menjalankan shalat dan patuh kepada
orang tuanya. Hal itu tidak sulit bagi Salamah, karena dia lahir dari
keluarga muslim. Shalat dan patuh pada orang tua adalah hal yang sudah
biasa mereka kerjakan karena memang itu diwajibkan. Yang kulakukan
hanyalah meberi mereka motivasi dalam menjaganya lebih baik. Salamah
menyadari hal itu, oleh karenanya dia dengan berani menyetujui
perjanjian itu.”
“Bagaimana dengan anak yang lain? Bukankah tidak semua anak berpikiran sama?”
“Sebagaimana Salamah, aku tanya tentang kerelaan mereka terlebih dahulu,
dan mereka merasa rela mengadakan perjanjian itu. Dan mereka tak merasa
dirugikan sedikitpun, terlebih lagi dengan hadiah imbalan yang
kujanjikan jika mereka menjalankan janji mereka.” Lalu Zanimra
mengarahkan pandangannya pada Abdullah dan berkata,
“Ayah, kau dengar tentang janjiku kepada mereka bukan?”
“Bahwa kau akan mempertanyakan tanggung jawab mereka dalam memegang
janji atau tidak. Dan jika mereka melanggar janji, kau akan mengambil
kembali hadiah itu, tapi jika mereka memegang janji, kau akan memberikan
hadiah lain lagi bagi mereka. Ya! Aku dengar Zanimra.”
“Sudikah ayah membantu aku dalam memegang janjiku?”
“Tentu saja, insyaallah jika aku bisa putriku, Aku akan merasa senang
sekali jika bisa ikut serta dalam perjanjian mulia ini!” sahut Abdullah
dengan semangat.
“Aku akan menitipkan beberapa hadiah yang kujanjikan itu kepadamu. Jika
dalam setahun aku tak bisa kembali kesini, maukah paman menyampaikan
hadiah-hadiah itu bagi mereka yang memegang janji dan mengambil hadiah
yang mereka miliki jika mereka melanggar janji?”
“Ha ha ha, subhanallah, tentu saja. Insyaallah jika umurku masih
panjang. Dan insyaallah aku akan menambahkan beberapa hadiah lagi!”
“Alhamdulillah, terima kasih Ayah.” Jawab Zanimra dengan riang.
“Zanimra, kau memberikan pelajaran yang sangat berharga kepadaku. Jika
kau bisa melakukan hal itu pada anak-anak di negri yang baru saja kau
kunjungi, mengapa aku tak bisa? Aaaahh, aku sungguh malu padamu
Zanimra!”
“Sungguh segala sesuatu datangnya dari Allah Ayah, aku hanya seorang
hamba. Alhamdulillah.” Abdullah tersenyum bahagia karena ia mendapatkan
Zanimra sebagai calon menantu. Dia tak dapat berkata terlalu banyak demi
menjaga perasaan Putri. Karena kelelahan bermain dengan anak-anak
akhirnya Zanimra jatuh tertidur. Perjalananpun menjadi kembali hening,
bertolak belakang dengan isi kepala Putri Aelia yang semakin berkecamuk.
Dalam beberapa jam saja Putri sudah merasakan kelebihan-kelabihan yang
dimiliki Zanimra, hatinya semakin gusar. Jika dirinya bisa mengakui
kelebihan Zanimra seperti ini, apalagi orang lain dan kakaknya. Kereta
memasuki gerbang istana ditengah malam buta. Abdullah dan Zanimra
langsung di antarkan ke kamar mereka.
Dialog Zanimra dan Raja
Abdullah dibangunkan oleh sebuah ketukan dipintu kamarnya, seorang
pelayan masuk dengan seragam yang rapi dan sisiran rambut yang licin.
Pelayan itu menyampaikan undangan Raja untuk sarapan di ruang makan
pribadinya.
“Hmm, hanya aku sendiri?” Lalu Abdullah bergegas mempersiapkan dirinya.
Dalam perjalanan menemui Raja, Abdullah menyempatkan diri untuk menengok
keadaan Zanimra, tapi Abdullah tak menemukan Zanimra dikamarnya.
Raja menyambut Abdullah dengan secangkir teh sajian pagi yang masih hangat.
“Assalammualaikum Baginda.”
“Walaikum salam Abdullah, duduklah dan temani aku.”
“Terima kasih Baginda.” Setelah duduk, Abdullah dan Raja menyantap
hidangannya. Setelah selesai Raja memulai pembicaraan tentang Zanimra.
“Baiklah Abdullah, aku telah lama mengenalmu, kau seperti ayahku
sendiri. Kau laki-laki yang jujur dan adil. Ceritakan padaku tentang
Zanimra dan apa pendapatmu.”
“Terima kasih atas kepercayaan Baginda. Bulan amatlah cantik dan
bercahaya, semua orang yang memandangnya akan mengagumi dan memuji.
Sedangkan matahari, tak satupun yang memandangnya atau memuji
keindahannya, tapi cahaya bulan masihlah kalah dari cahaya matahari.”
Raja tertegun mendengar perumpaan yang diajukan Abdullah.
“Jadi, Zanimra tak secantik Aelia, tapi cahayanya jauh lebih terang.
Ceritakan padaku, apa yang membuatmu memiliki penilaian demikian.”
Abdullah lalu menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya sepanjang
perjalanan menuju istana. Ketika Abdullah selesai dengan penuturannya
Raja berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir dengan gusar.
Abdullah memahami reaksi rajanya. Kemudia Raja kembali duduk dan
memandang tajam Abdullah.
“Apakah kebenaran yang kau katakan tadi hai Abdullah?”
“Demi Allah, begitulah adanya Baginda.”
“Masyaallah, tak mungkin usia gadis itu sama seperti Aelia!”
“Memang usia Zanimra tiga tahun lebih tua.”
“Tidak Abdullah, Zanimra seharusnya jauh lebih tua, bahkan mungkin lebih
tua dari usiamu!” Abdullah tersenyum geli, ada rasa bersalah dalam
hatinya karena Raja tampak gusar menyadari kelebihan Zanimra. Seperti
dugaannya, Raja dengan mudah dapat menangkap kelebihan yang dimiliki
Zanimra, cahaya yang tidak dimiliki Putri Aelia itulah yang membuat Ali
merasa yakin akan keputusannya.
“Baiklah, dimanakah dia sekarang?”
“Maaf Baginda, pagi ini saya belum sempat menemui Zanimra.”
“Hem, perintahkan dia untuk bergabung bersamaku setelah makan siang untuk berkeliling kota.”
“Titah Baginda akan saya laksanakan.”
“Sekarang kau boleh pergi, terima kasih Abdullah, Assalammualaikum.”
“Terima kasih kembali, walaikum salam.” Abdullah bangkit dari duduknya
dan melangkah pergi. Baginda mengerutkan dahinya, dia merasa takjub
dengan penuturan Abdullah. Untuk seorang gadis seusia Zanimra jalan
pikirannya sangatlah unik dan tak biasa. Yang paling membuat Raja heran
adalah kepercayaan diri dan ketenangan Zanimra.
Tepat setelah makan siang Abdullah dan Zanimra menghadap Raja. Disana Raja dan Putri Aelia telah menunggu.
“ Assalammualaikum Zanimra, selamat datang di kerajaan kami.” Sambut Raja dengan ramah.
“Walaikum salam, saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas
undangan Baginda.” Sahut Zanimra dengan senyum. Dari cara bicara
Zanimra, Raja dapat menangkap ketenangan dan kepercayaan diri yang amat
kuat.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaanku Zanimra?”
“Subhanallah. Seperti yang telah tersohor, kerajaan Baginda adalah kerajaan yang makmur dan kaya.”
“Dan bagaimana menurutmu istanaku?”
“Subhanallah, Allah menurunkan keindahan yang mengagumkan diistana ini.”
“Apa yang menurutmu paling indah di istana ini?”
“Sejauh yang dapat saya temui sepanjang hari ini, Putri Aelia adalah
keindahan utama dunia yang Allah turunkan di istana ini.” Raja dan Putri
Aelia terkejut mendengar jawaban yang tak terduga dari Zanimra.
“Mengapa demikian?”
“Karena belum pernah saya temui suatu keindahan dari ciptaan Allah yang
lebih indah dari Putri Aelia.” Jawab Zanimra kembali dengan jujur tanpa
ada kesan nada menjilat.
“Ah, jujurkah kau atau sekedar memujiku Zanimra?” Sahut Putri dengan senyum yang semakin membuatnya menyilaukan.
“Demi Allah, sesungguhnya saya memuji Allah atas kebesaran-Nya yang
nampak padamu Putri. Maha Suci Allah yang MenciptakanMu.” Putri merasa
malu mendengar jawaban Zanimra.
“Apa yang akan kau lakukan jika kau memiliki kecantikan seperti yang dimiliki adikku Zanimra?” Tanya Raja kemudian.
“Saya akan sangat takut.” Raja dan Putri kembali dibuat terkejut dengan pernyataan Zanimra.
“Sungguh kau gadis yang aneh, dari seluruh gadis dimuka bumi
mengharapkan kecantikan seperti Aelia, tapi kau malah sebaliknya.
Katakan padaku alasanmu.” Pinta Raja kemudian.
“Saya takutkan, karena dengan kecantikan itu akan bertambah beban saya
dalam perjuangan melawan tipu daya setan dan nafsu saya sendiri. Dengan
kecantikan yang demikian, akan sulit bagi saya menghindar dari berbagai
pujian. Dan sesungguhnya pujian adalah sangat jahat bagi jiwa, karena ia
sungguh memabukkan dan dapat mengikis iman. Dari pujian pulalah tumbuh
rasa kesombongan, dan sesungguhnya ‘kesombongan’ adalah sebab
terkutuknya iblis hingga akhir jaman. Sungguh saya takutkan hal itu
terlebih lagi segala pujian itu Hanya Milik Allah.”
Mendengar jawaban Zanimra, Raja tersenyum getir, ujarnya kemudian,
“Demi Allah, Hai Abdullah, sungguh aku melihat apa yang kau lihat dari
gadis ini.” Putri memandang Zanimra dengan rasa semakin enggan.
“Baiklah Zanimra, kurasa Abdullah telah menyampaikan undanganku kepadamu untuk menemaniku berkeliling kota kerajaan.”
“Betul Baginda, terima kasih atas undangannya, saya merasa sangat terhormat.”
“Baiklah, mari kita berangkat sekarang.”
Akhirnya Raja beranjak dari singgasananya diikuti Abdullah, Zanimra dan
beberapa petinggi kerajaan, sedangkan Putri tinggal di istana.
Selama perjalanan Raja terus memperhatikan tingkah laku Zanimra, seperti
yang dikatakan Abdullah, Zanimra lebih banyak diam sepanjang perjalanan
dan mimik wajahnya selalu berubah-ubah seperti layaknya seseorang yang
sedang menikmati drama panggung. Raja seperti melihat dirinya sendiri
pada Zanimra. Sama halnya dengan dirinya, bagi Zanimra setiap kejadian
kecilpun yang dia temui dimanapun dirasakan sangat menarik baginya. Dari
kejadian-kejadian kecil itu dapat diambil banyak pelajaran dan hikmah
kehidupan. Hal inilah yang pertama kali diajarkan ayahnya pada Raja
sebagai dasar kepemimpinan seorang Raja. Pada sore hari rombongan Raja
kembali ke istana kecuali Abdullah, dia harus tinggal di kota untuk
menyelesaikan beberapa urusan hingga malam. Setibanya di istana, dengan
rasa penasaran Raja akhirnya bertanya pada Zanimra.
“Zanimra, selama perjalanan aku memperhatikanmu. Kulihat pikiranmu
selalu sibuk dengan perubahan demi perubahan yang kulihat dari mimik
wajahmu dan gerakan bibirmu yang terus menerus. Maukah kau ceritakan
padaku mengapa kau demikian?”
“Pikiran saya terus sibuk karena mata saya tak henti-hentinya menangkap
hal-hal yang menarik terjadi sepanjang perjalanan ini. Bibir saya selalu
bergerak karena timbul oleh rasa tasbih kesyukuran atau istighfar
ketakutan dari segala sesuatu yang saya lihat.”
“Sesungguhnya aku mengerti apa maksudmu karena Zanimra, yang sebenarnya
ingin kuketahui, siapakah yang mengajarkanmu untuk berbuat demikian?”
“Saya mendapatkan hikmah tersebut dari Allah melalui kitab-Nya Al-Qur’an Baginda.”
“Sungguh Al-Qur’an telah mengajarkanmu suatu kebijakan.”
“Tidakkah Al Qur’an mengajarkan hal yang sama pada Baginda?” Baginda
tertegun, dia menyadari bahwa sesungguhnya Raja jarang benar-benar
membaca Al Qur’an. Kesibukannya dalam menjalani kerajaan membuatnya
hampir tidak sempat untuk membaca kitabullah itu. Semua ilmu yang dia
dapat dalam kepemimpinan dan kerajaan dia pelajari dari ayahnya dan
petinggi negara serta pengalaman hidupnya.
“Sungguh aku malu padamu Zanimra, tapi ketahuilah kesibukanku sebagai raja seringkali menahanku darinya.”
“Masyaallah, sungguh dalam Al-Qur’an terdapat obat bagi semua penyakit dan petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Q.S Al An’Aam : 155. Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami
turunkan ini, penuh keberkatan, hebat kegunaannya. Karen itu ikutilah
petunjuk Tuhan di dalamnya, dan bertaqwalah menjauhi larangan-Nya,
semoga kamu diberi rahmat.”
“Tapi Zanimra, Al-Qur’an adalah sebuah kitab agama, apa yang bisa
kutemui didalamnya tentang cara menjalankan suatu pemerintahan
bernegara?”
“Sungguh Nabi Muhammad adalah pemimpin yang menyatukan seluruh tanah
Arab dalam waktu yang sangat singkat dan Beliau adalah jendral perang
yang luar biasa, pembimbing Beliau tidak lain dan tidak bukan adalah
Al-Qur’an. Qur’an bukanlah kitab yang mengatur hablum minallah (hubungan
antara Tuhan dan manusia) saja, tapi juga mengatur hablum minan-naas
(hubungan antar sesama manusia).”
“Zanimra, seperti yang kau lihat, walau bagaimanapun aku berhasil
membawa kerajaan ini dalam kemakmuran. Apakah menurutmu yang kuperbuat
belum cukup?”
“Saya akui kerajaan ini sangat makmur dengan kekayaan yang berlimpah,
tapi apakah ini saja yang Baginda kejar?” Tanya Zanimra dengan sangat
hati-hati. Baginda mengernyitkan alisnya,
“Apa maksudmu kemakmuran ini tidak cukup bagi rakyatku? Kerajaanku walau
kecil adalah kerajaan kaya dan rakyatku hidup dalam kemakmuran.”
“Benar sekali, saya akui demikian adanya. Tapi seberapa kekalkah
kehidupan dunia ini Baginda? Apakah terlupa dari ingatan, bahwa tujuan
akhir manusia adalah negeri Akhirat? Manakah yang lebih baik, kehidupan
dunia atau akhirat?” Baginda terhenyak dengan pertanyaan Zanimra.
Zanimrapun melanjutkan,
“Kekayaan dan kemakmuran yang ada pada dunia ini pada saatnya akan
ditinggalkan, lalu kepada siapakah kita akan dikembalikan? Sungguh apa
yang Baginda raih saat ini hanyalah keberhasilan dunia yang bersifat
sementara. Apakah hanya sampai sini akhir perjalanan Baginda?”
“Zanimra!” kecam Raja tiba-tiba. Dia terkejut dengan keberanian Zanimra
dalam mengajukan pernyataan yang mempertanyakan kebijaksanaannya dalam
menjalankan roda pemerintahan.
“Maafkan saya jika saya menyinggung perasaan Baginda, saya hanya
berbicara sebagai seorang hamba Allah. Kerajaan ini adalah kerajaan
mayoritas perpenduduk Islam, tapi sangat disayangkan jika roda
pemerintahan jauh dari Islam itu sendiri. Saya sungguh sedih, saya
datang dari kerajaan Hindu, kebebasan kami dalam menjalankan ibadah
beragama sangat terbatas, tapi alhamdulillah, kebanyakan muslim yang
berada dinegeri saya jauh lebih mencerminkan ke-Islamannya daripada
dikerajaan ini.”
“Zanimra, sungguh berani kau menyampaikan kritik tajam padaku. Tidak
adakah sedikit rasa takutpun padamu terhadap Raja seperti aku ini?”
“Demi Allah saya menghormati Baginda sebagai seorang pemimpin, tapi
hanya pada Allah sajalah seluruh makhluk itu harus takut, karena Allah
adalah Raja dari segala raja.
Qur’an Surat Al Mu’minuun:116. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang
Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan
(Yang mempunyai) `Arsy yang mulia.”
Kembali Raja tergagap, tak terbayang olehnya ada seorang gadis biasa yang begitu berani pada seorang Raja seperti dirinya.
“Dan bolehkah saya bertanya pada Baginda, takutkah Baginda kepada Allah?”
“Tentu saja aku takut!”
“Sesungguhnya seorang pemimpin seperti Baginda akan dimintai pertanggung
jawabannya oleh Allah di hari Perhitungan nanti. Apakah dalih Baginda
jika Allah bertanya pada Baginda dengan apakah dan bagaimanakah Baginda
memimpin rakyat? Mengapa rakyat yang Baginda pimpin jauh dari jalan
Allah sedangkan mereka beragama Islam?” Mendengar pertanyaan Zanimra
tubuh Raja bergetar hebat.
“Lihatlah disekeliling Baginda, para wanita dari rakyat baginda berjalan
dengan setengah telanjang di hampir seluruh penjuru kota. Padahal kita
tahu perintah dari Allah, dalam Surat An-Nuur:31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. “
Para laki-laki memakai jubah sutra hingga menyapu tanah. Sungguh
seperti inikah ajaran Islam? Memakai perhiasan emas hampir diseluruh
bagian tubuh yang nampak,
Diriwayatkan daripada al-Bara’ bin Azib r.a katanya: Rasulullah s.a.w
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh
perkara … Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas,
minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan
Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal
dan sutera halus” (Hadis sahih Bukhari-Muslim)
Tidakkah Baginda sadari, keadaan rakyat dan keluarga Baginda sangat
sedikit sekali yang patuh pada perintah Allah dalam Al Qur’an maupun
dalam hadis Rasulullah yang telah saya sebutkan.
Astaghfirullah…Kebanyakan orang yang saya temui selama saya berada
disini melanggarnya.”
Bibir Raja terkatup rapat. Bagai dihantam badai yang amat keras, saat
itu jiwa baginda terombang-ambing amat keras. Pikirannya bergelut amat
hebat, kata-kata Zanimra bagaikan sebuat hantaman dasyat yang membuatnya
terbangun dari mimpi. Keterkejutannya membuat raja tak mampu menerima
bahwa yang dikatakan Zanimra adalah benar,
“Sungguh kau gadis yang sangat berani Zanimra, tak tahukah kau berada dikerajaanku?”
“Saya lebih takut kepada Allah jika saya berdiam diri melihat seorang
yang saya kagumi terbelenggu dalam keadaan lupa wahai Baginda.”
“Aku selalu meminta Abdullah pergi setiap kali dia mulai berbicara
tentang hal ini, mengapa kau pikir aku mau mendengarkanmu?” Zanimra
tersenyum sedih.
“Yang manakah teman yang baik bagi Baginda? Seorang teman yang
mengingatkan Baginda atau seorang teman yang tak ambil perduli akan
keselamatan Baginda dari kecelakaan yang sesungguhnya dan kekal?”
Baginda terhenyak mendengar pertanyaan Zanimra tanpa bisa manjawab.
“Apa kau pikir aku ini sungguh celaka dan bukan Raja yang bijak.”
“Baginda adalah raja yang bijak, hanya saja baginda lupa… bahwa baginda
adalah juga seorang hamba Allah dan Baginda pemimpin dari berjuta hamba
Allah yang lainnya, renungkanlah peringatan penuh kasih dari Allah dalam
Al-Qur’an;
Surat Yunus: (7) Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan
(tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan
kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, (8) mereka itu tempatnya
ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.
Surat Ali Imran:185. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan.”
“Baginda yang bijak, Anda lupa, bahwa akhirat adalah tujuan
sesungguhnya dari manusia, dan sebagai Raja, kepemimpinan Baginda akan
dimintai pertanggung jawabannya. Saya sekedar mengingatkan,
berhati-hatilah menanti datangnya panggilan Allah di hari kiamat nanti;
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w
bersabda: Allah s.w.t menggenggam bumi pada Hari Kiamat dan melipat
langit dengan tangan kananNya kemudian berfirman: Akulah Raja! Di
manakah raja-raja bumi?” (Sahih Bukhari-Muslim)
Surat An Nahl 93. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan.”
Raja menjadi amat gusar, sebagian hatinya mengakui kebenaran kalimat Zanimra, tapi sebagian hatinya merasa tersinggung.
“Hentikan pembicaraan ini Zanimra, ijinkanlah aku berpikir. Sejujurnya
perkataanmu seperti menamparku dengan sangat keras. Berilah aku ruang
untuk bernafas. Pergilah sekarang, hadirlah pada jamuan malam kerajaan
nanti.”
“Terima kasih Baginda, maafkan saya telah merepotkan, insyaallah saya
akan hadir dijamuan kerajaan malam nanti. Assalammualaikum.” Zanimra
akhirnya meninggalkan Raja.
“Ah Abdullah, bukan saja gadis itu memporak-porandakan jiwa adikku,
sekarang dia juga memporak-porandakan jiwaku!” gumamnya dengan galau
pada diri sendiri. Selama hidupnya Raja berpikir bahwa dirinya
telah menjadi Raja yang baik, karena keberhasilannya dalam membawa
rakyatnya dalam kemakmuran duniawi. Urusan kenegaraan dan agama baginya
adalah hal yang berbeda. Dia tidak pernah berpikir sebagaimana yang
dituturkan Zanimra, baginya akhirat masihlah sekedar dongeng sebelum
tidur yang tidak pernah dipikirkannya secara serius. Lisannya selalu
berkata dia muslim dan takut kepada Allah, tapi kenyataannya dia sangat
jauh dari Islam, sangat jauh dari Al Qur’an dan alpa akan keberadaan
Allah.
Hatinya terpukau penuk kekeruhan, dia tak menyangka seorang gadis biasa
dapat berkata dengan lantang tentang kesalahannya. Sunnguh gadis itu tak
takut pada dirinya, tapi dia takut pada Tuhan-Nya.
Raja menggapai sebuah Al-Qur’an yang berdebu disudut meja kerjanya,
dibukanya secara acak, matanya tertumbuk pada sebuah surat yang
berbunyi,
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S Al
An-‘Aam:32)
Tiba-tiba dadanya menjadi berat, hatinya berkecamuk antara pengakuan
diri dengan kesombongannya sebagai Raja, ia masih tidak rela menerima
bahwa gadis biasa yang lebih muda itu benar perkataannya. Akhirnya Raja
menenggelamkan diri pada badai dihatinya yang tiba-tiba berkecamuk.
Selendang Kebesaran Raja
Makan malampun tiba, semua tamu undangan dan petinggi negara telah
hadir dan duduk dimejanya masing-masing. Mereka serentak berdiri
menghormati kehadiran Raja, Permaisuri dan Putri Aelia. Setelah ketiga
orang utama tersebut duduk, yang lainnyapun kembali duduk. Raja menyapu
ruangan dengan seksama, dia terhenyak ketika mendapati sebuah kursi
masih kosong.
“Siapakah yang belum hadir disini?” Tanya Raja lantang. Para tamu dan
petinggi kerajaan saling berbisik dan melihat ke kanan kiri mereka. Lalu
Putri Aleia berbisik pada Raja,
“Zanimra yang belum hadir.” Raja sangat gusar dibuatnya.
“Pelayan, cepat cari gadis itu dan bawa dia kemari!” Titah Raja kemudian, dia merasa terhina dengan kejadian itu.
Tak lama kemudian Zanimra muncul dengan langkah yang cepat. Serta merta
seluruh pandangan tertuju tajam padanya. Zanimra berhenti disebelah
kursinya, lalu dengan sangat tenang dia berkata,
“Beribu maaf atas keterlambatan saya Baginda.”
“Apa alasan dari keterlambatanmu ini Zanimra?”
“Sekali lagi saya minta maaf, sewaktu saya sedang bersiap untuk hadir
disini, saya mendengar adzan tanda waktu shalat tiba, maka dari itu saya
shalat terlebih dahulu.”
“Tidak tahukah bahwa dirimu telah menghinaku, dengan menghinaku kau juga menghina seluruh kerajaan ini?”
“Sungguh bukan maksud saya berbuat demikian.”
“Zanimra, bukankah kau tahu bahwa shalat terakhir (Isha) sangat panjang
waktunya? Mengapa tidak kau tangguhkan dulu, tidakkah kau menghormati
undanganku ini?”
“Demi Allah, bukan maksud saya menghina Paduka, tapi…”
“Zanimra? Ketahuialah, terlambat dari undangan makan seorang Raja berarti telah mengina Raja dan seluruh rakyatnya!”
“Astaghfirullah, sekali lagi saya minta maaf dan Demi Allah saya tidak
bermaksud menghina siapapun. Jika Baginda masih murka juga, maafkan jika
saya bertanya, Masya Allah, apakah Baginda menganggap diri Baginda
lebih tinggi dari pada Allah?”
Serta merta seluruh ruangan riuh rendah mendengar pertanyaan Zanimra
yang sangat berani. Tak urung Raja membelalakkan matanya, begitupun
Putri Aleia dan Permaisuri.
“Zanimra! Apa maksud dari perkataanmu itu?!!” Tanya Raja dengan nada
meninggi. Zanimra memandang tepat kearah Raja lalu berkata dengan
merendahkan suaranya tanpa rasa takut.
“Maaf Baginda, saya mendengar dua panggilan secara bersamaan, yang satu
datang dari seorang pemimpin yang saya hormati, dan yang satu lagi
datang dari Tuhan yang saya takuti. Jika saya memilih untuk memenuhi
panggilan dari Baginda, maka sama saja saya meletakkan keberadaan
Baginda diatas Allah.”
“Astagfirullah!!!” Teriak Raja kemudian. Tubuhnya menggigil karena rasa
terkejut yang hebat. Serta merta keadaan menjadi riuh rendah, para
petinggi kerajaan sangat terkejut dengan keberanian tamu undangan Raja
tersebut.
“Berani sekali kau terhadap Raja!” Teriak beberapa orang petinggi
kemudian dengan geram. Suasanapun menjadi riuh rendah dengan ucapan
keheranan.
Ditengah suasana yang kritis itu masuklah Abdullah bersamaan dengan Ali.
Mereka tertegun melihat keadaan ruangan yang sedemikian rupa, terlebih
lagi ketika melihat sosok Zanimra yang masih berdiri dan Raja yang juga
berdiri dengan tatapan tajam kearah Zanimra.
“Kau benar-benar tidak menghormati Raja! Bersyukurlah jika Raja tidak
menghukummu!” Teriak seorang petinggi lagi. Abdullah dan Ali yang
mendengar teriakan itu menjadi panik.
“Diamlah kalian!” Teriak Raja kemudian menggelegar keseluruh ruangan,
serta merta seluruh ruangan menjadi sunyi. Raja menatap Zanimra
dalam-dalam, tak ada rasa takut atau gusar sedikitpun terpancar dimata
Zanimra.
“Baiklah Zanimra.” Lanjut Raja kemudian,
“Sekarang apa usulmu? Apakah sebaiknya sekarang sebaiknya kami semua meninggalkan meja makan ini dan shalat terlebih dahulu?”
“Tidak, Baginda.” Keadaan menjadi riuh rendah kembali mendengar jawaban ‘tidak’ dari Zanimra.
“Bukankah kita harus mendahulukan shalat diatas apapun?”
“Sungguh Baginda, Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Allah juga Maha Bijaksana.
“Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Rasulullah s.a.w
bersabda: Apabila makanan dihidangkan kepada kamu sedangkan sembahyang
hendak didirikan, maka hendaklah kamu makan terlebih dahulu. Janganlah
kamu terburu-buru hinggalah kamu selesai makan.” (Sahih Bukhari-Muslim)
Saya melaksanakan shalat terlebih dahulu karena saya jauh dari meja ini
sehingga saya belum melihat hidangan ini tersaji. Sedangkan Baginda dan
yang lain telah berada disini, maka sebaiknyalah Baginda makan terlebih
dahulu.”
“Mengapa demikian? Apa alasannya?”
“KarenaAllah ingin hambanya menghadap dengan sepenuh hati tanpa
memikirkan makanan yang telah terhidang dimeja atau merasakan perut yang
terus menggoda.”
“Siapakah diantara kalian yang tahu akan hadis dan ketentuan ini?” tanya
Baginda kemudian kepada semua yang hadir. Dari 70 orang yang ada hanya
sembilan belas orang yang mengangkat tangannya termasuk Ali dan
Abdullah. Pada saat itu kehadiran Abdullah dan Ali baru sisadari. Mata
Putri Aelia langsung tertumbuk pada Ali, hatinya kecut ketika dilihatnya
Ali tengah memandang Zanimra sambil tersenyum.
Raja masih tetap berdiri mematung, tiba-tiba air mata meleleh membasahi
pipinya. Pemandangan itu sangat mengejutkan seluruh penghuni ruangan.
Dia menyadari betapa dia telah membiarkan diri dan rakyatnya begitu jauh
dari Islam, dari 70 orang petinggi yang hadir, tidak ada setengahnya
yang mengetahui akan kesalahan mereka, dan meskipun mereka tahu, mereka
tetap melanggarnya karena lebih takut kepada dirinya daripada kepada
Allah.
“Hai Zanimra, sungguh apa yang kau katakan sore tadi dan malam ini
adalah benar adanya. Demi Allah aku bertobat!” Katanya kemudian dengan
gemetar.
“Makanlah kalian semua, setelah itu adakan shalat Isha berjama’ah.”
Akhirnya makan malam berlangsung dengan sangat sunyi karena Raja nampak
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya terus tertunduk lesu.
Setelah shalat Raja mengumpulkan semua orang di Balai Kerajaan lalu memperkenalkan Zanimra sebagai tamu undangannya.
“Wahai orang-orang kepercayaanku, sesungguhnya Zanimra ini adalah cahaya
matahari yang singgah dikerajaan ini untuk membagikan cahayanya.
Hormatilah dia sebagai tamu istimewa dan kasihilah dia sebagai salah
satu anggota keluarga besar kerajaan ini.” Lalu baginda menyampirkan
selendang kebesarannya pada Zanimra sebagai tanda penghormatan dan
pengakuan Raja. Selendang kebesaran Raja adalah pengakuan kerajaan bagi
Zanimra sebagai salah seorang anggota keluarga kerajaan. Melihat hal itu
Abdullah dan Ali saling memandang, keduanya mengucap syukur dan pujian
kepada Allah tak henti-henti. Dengan demikian Raja telah mengakui
keberadaan Zanimra dan merestui hubungannya dengan Ali.
Dilain pihak Putri Aelia menggigil hebat menahan gejolak yang berkecamuk
di dalam jiwanya. Raja menyadari hal itu, lalu dengan perlahan dia
mengisyaratkan Permaisurinya untuk membawa Putri Aleia keruangan lain.
“Zanimra, selamat bergabung sebagai salah satu anggota keluarga
kerajaan, kedudukanmu di kerjaan ini adalah setaraf dengan bangsawan
tertinggi.”
“Alhamdulillah, subhanallah…segala puji bagi Allah. Terima kasih yang tak terhingga kuucapkan kepadamu Baginda.”
“Ali, Abdullah dan Zanimra. Ikutlah denganku.” Lalu Raja meninggalkan
singgasananya menuju ruangan tempat Putri Aelia dan Permaisurinya
berada.
Disana Putri Aelia tengah menyembunyikan wajahnya dipelukan Permaisuri.
Menyadari kedatangan Raja dia melepaskan diri dari pelukan Permaisuri
dan berdiri dengan tegar, tampak sekali dari wajahnya, Putri Aelia
berusaha sekuat tenaga membendung air matanya. Harga diri sebagai
seorang Putri masih dia pertahankan hingga saat-saat terakhir. Tapi Raja
sangat mengenal adiknya. Ia mendekati adiknya lalu membelai kepalanya
dengan lembut.
“Adikku Aelia. Maafkan Aku.” Bisik Raja kemudian.
“Percayakah kau bahwa Aku akan menyakitimu?” tanyanya lagi pada adiknya yang dijawab gelengan lemah oleh Putri Aelia.
“Apakah menurutmu keputusanku ini keji dan tidak adil bagimu?” Lagi-lagi Putri Aelia menggeleng.
“Relakah kau menerima keputusanku?” Kali ini Putri mengangguk
“Aku tahu dari tatapan matamu bahwa sejak kedatanganmu bersama dengan
Zanimra, kau telah mengakui kekalahanmu. Hanya saja kau tak mau
menerimanya. Saat ini akupun tak berdaya untuk menolak kenyataan bahwa
Zanimra dengan telak telah melumpuhkan aku didepan rakyatku sendiri. Aku
harus mengakui bahwa Ali memiliki alasan yang kuat dan Zanimra telah
membuktikan dirinya.”
“Sudahlah Kak, aku mengerti.” Kata Putri dengan lemah, lalu dia memandang nanar kearah Ali dan Zanimra.
“Kuucapkan selamat bagi kalian berdua. Maafkan aku yang selama ini
menyusahkan kalian.” Kata putri dengan nada datar dan pandangan yang
dingin. Dengan langkah pasti dia berbalik. Ali menundukkan kepalanya,
Zanimra lalu membisikan sesuatu pada Ali.
“Ada sesuatu yang ingin kau katakan Zanimra?” Tanya Baginda ketika melihatnya.
“Maaf, Baginda. Jangan berburuk sangka dahulu. Jika diijinkan, saya ingin menyusul Putri Aelia untuk berbicara padanya.”
“Apakah kau pikir itu bijak? Sedangkan karenamulah dia hancur. “Apa yang
akan kau lakukan? Apakah kau akan membuat adikku itu lebih hancur?”
“Tidak Baginda.”
“Lalu? Kau akan merelakan Ali padanya?”
“Tidak juga.”
“Mengapa? Karena kau takut kau yang akan hancur?”
“Bukan karena itu Baginda.”
“Jelaskan padaku.”
“Karena bukan saya ataupun Ali yang membuat Putri hancur, tapi rasa
cintanya itulah yang membuat dia demikian. Meskipun Putri mendapatkan
Ali, rasa cintanya tetap akan membakarnya dalam derita.”
“Apa dalihmu tentang itu?”
“Pernahkan Baginda mendengar pepatah atau syair-syair masyur tentang cinta?”
“Katakan padaku.”
“Cinta, tawanya sehari tangisnya seribu tahun.”
“Banyak manusia setuju bahwa cinta itu memang begitu adanya, Cinta butuh
pengorbanan dan penuh penderitaan. Dan masih banyak pepatah lain yang
melukiskan kepedihan cinta.”
“Ya, aku mengerti. Lalu?”
“Sesungguhnya anggapan kebanyakan manusia itulah yang telah menyesatkan
arti dari cinta hakiki yang sesungguhnya. Cinta menjadi bumerang karena
manusia sangat salah menilai tentang cinta. Cinta bagi kebanyakan
manusia bukan lagi sekedar perasaan hati, tapi sudah menjadi tuhan yang
menguasai tubuh dan jiwa, hidup dan mati mereka. Kecelakaan apakah yang
lebih besar daripada menuhankan yang lain selain Allah?”
Raja untuk kesekian kalinya dibuat diam oleh Zanimra.
“Ijinkanlah Zanimra berbicara dengan Putri Aelia, Baginda.” Pinta Ali
dan Abdullah hampir berbarengan. Akhirnya Rajapun menganggukan kepalanya
dan Zanimrapun melangkah pergi
“Zanimra…” Panggilan raja yang tiba-tiba menghentikan langkah Zanimra.
”Terima Kasih.” Lanjut Raja. Zanimra menganggukan kepala lalu bergegas pergi.
Sebaiknya kita kembali ke Balai Kerajaan, tamu yang lain masih
menunggu.” Ujar Raja sambil melangkah. Ali dan Abdullah mengikuti
dibelakangnya.
Cinta Yang Hakiki
Dari salah seorang dayang Zanimra mengetahui bahwa Putri pergi ke
danau dibelakang istana. Sesampai disana Zanimra menemukan Putri Aelia
sedang duduk dengan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam disela lututnya.
Cahaya lentera membias redup disepanjang tepian danau, kunang-kunang
terbang berkeliling dengan indahnya. Tapi keindahan itu tak dapat
mengalahkan kecantikan putri yang tengah kalut hatinya.
“Assalammualaikum.” Salam Zanimra dengan hati-hati. Putri Aelia
tersentak dan melihat kearah Zanimra dengan sangat tajam. Tampak pipinya
yang putih mulus basah degan air mata.
“Apa tujuanmu kemari? Ingin melihatku menangis? Atau ingin mengejek kekalahanku?” Tanyanya ketus.
“Apakah seburuk itu tabiat saya dimata Putri?”
“Tidak perlu bersopan santun saat ini, aku sungguh muak.”
“Baiklah, maafkan aku.” Putri tidak menjawab, dia hanya membuang muka.
“Putri, aku tahu kau marah dan benci padaku. Maka dari itu aku datang kemari untuk kau caci dan kau maki agar lega hatimu.”
“Apa kau juga ingin aku membunuhmu?” sahut Putri Aelia semakin ketus.
“Apa kau ingin melakukannya?”
“Tidak, Aku lebih ingin membunuh diriku sendiri.”
“Astaghfirullah…” bisik Zanimra pelan mendengar keputus asa-an Putri.
“Putri, pukulah aku jika itu bisa meringankan bebanmu.”
“Zanimra! Mengapa kau seperti ini? Dari pertama kali aku bertemu
denganmu sebenarnya aku telah menyadari aku telah kalah, semakin hari
aku bersamamupun aku semakin tahu dirimu dan apa yang kuketahui malah
membuatku kagum padamu!
Ya! Aku membencimu karena kau sungguh beruntung! Aku membencimu karena kau lebih dari aku!”
“Putri…aku mengerti akan perasaanmu…” Tiba-tiba Putri Aelia memotong perkataan Zanimra dengan nada yang amat tinggi.
“Jangan kau mengatakan padaku bahwa kau mengerti akan perasaanku! Tahu apa dirimu tentang hancurnya hatiku?”
“Sesungguhnya aku tidak selalu seperti sekarang ini. Hanya karena Kasih
Allah-lah aku bisa kembali untuk menyembah Allah. Lembaran kehidupanku
memiliki coretan-coretan hitamnya sendiri. Kehilangan demi kehilangan
aku rasakan beberapa kali. Kehancuran dan kegelapan kuhadapi dengan
amarah dan kebencian. Jadi, aku memang tahu akan apa yang kau rasakan
karena aku pernah sepertimu sekarang ini.”
“Aku memang tak seberuntung dirimu! Bahagiakah kau sekarang karena membuatku begitu iri padamu?”
“Sesungguhnya Putri tidak perlu iri, tidakkah putri menyadari bahwa yang
ada padaku sebenarnya dapat diraih oleh semua orang, sedangkan
kelebihan yang ada pada dirimu hanya dirimulah yang dapat meraihnya?”
“Apa maksudmu?”
“Apa yang kumiliki dapat juga kau miliki, tapi kelebihan yang kau miliki
tak akan pernah dapat aku raih selama hidupku didunia ini. Sesungguhnya
kau tak perlu mengeluh karena Allah Maha Adil.”
“Benarkah Allah Maha Adil? Dimanakah keadilan yang kau lihat itu?”
“Putri, kau bisa menjadi aku yang sekarang ini. Merubah jalan pikiran,
merubah tingkah laku dapat dilakukan semua orang jika mereka benar-benar
berusaha. Tapi, apakah orang bisa merubah dirinya menjadi secantik
dirimu?”
“Jika kecantikan yang kumiliki ini dapat kugadaikan demi mendapatkan Ali, maka aku akan senang melepaskannya!”
“Jikapun kau menggadaikan kecantikanmu dan mendapatkan Ali, kau tetap tak akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.”
“Bagaimana tidak? Jika hidupku adalah Ali?”
“Karena Ali yang akan kau dapatkan bukanlah Ali yang sekarang ini kau kenal.”
“Dengan kata lain kau berkata bahwa Ali tak akan pernah mencintaiku walaupun telah kugadai kecantikanku?”
“Putri, walaupun wajah dan tubuhku dapat menghibur hati Ali, tapi bukanlan wajah atau tubuhku yang membuat Ali mencintaiku.”
“Sungguh lidahmu licin seperti Ali, tutur katamupun tak ubahnya seperti
tutur katanya. Berbaik hatilah padaku Zanimra, katakan kepadaku apa yang
membuat Ali mencintaimu?”
“Yang membuat Ali mencintaiku adalah karena caraku mencintainya.”
“Bagaimana caramu mencintainya hai Zanimra?”
“Aku mencintainya karena Ali mencintai Allah.”
“Allah….Allah…selalu itu yang terucap dibibirmu dan Ali, sebegitu
besarkah cinta kalian pada-Nya, bagaimana jika Allah memisahkan kalian
berdua, apakah kau masih mencintai Allah?”
“Ya,”
“Mengapa?”
“Karena kami percaya apapun keputusan Allah adalah yang terbaik bagi hambanya.”
“Mengapa kau sepasrah itu?”
“Karena Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil dan Bijaksana.”
“Zanimra, jika kau mencintai Ali, tidakkah kau akan merasa sakit jika Allah mengambil Ali darimu?”
“Tentu.”
“Lalu kau masih berpikir Allah mencintaimu?”
“Ya.”
“Mengapa? Bukankah Allah telah membuat hatimu sakit?”
“Karena aku masih memiliki cinta kepada Allah. Dengan mengingat Allah maka jiwaku merasa tenang.”
“Sungguh kau dusta! Kau tak mengerti cinta! Kau tak mencintai Ali
sebesar aku mencintainya! Dan mengapa Ali masih memilihmu?!” Teriak
Putri Aelia dengan geram.
Zanimra tertegun sedih karena merasa kasihan pada Putri Aelia yang
sedemikian marahnya sehingga buta akan kebenaran. Dengan lembut Zanimra
menjawab.
“Tidakkah kau bisa mengambil kesimpulan wahai Putri yang cerdas, cinta
yang terjalin diantara kami dikarenakan kecintaan kami kepada Allah.
Cinta kami kepada Allah diatas cinta kami kepada apapun atau siapapun,
bahkan diatas cinta kami berdua.” Zanimra menarik nafas lalu
melanjutkan,
“Cinta dunia bukanlah yang kami kejar, kami merasa cukup dan tenang
dengan keduniaan yang kami dapatkan, karena Allah telah menetapkan
takarannya sedari mula kita diciptakan. Akan tetapi kami tak akan pernah
merasa cukup dengan rasa rindu dan cinta kami kepada Allah dan hari
kemudian. Kami berdua memiliki tujuan yang sama dalam hidup, untuk
bersama berjuang dijalan Allah dan menjadi hambaNya.”
“Apapun yang aku lakukan didunia ini hanya karena Allah, aku mencintai
Alipun juga karena Allah. Jika Allah mengambil Ali, maka aku percaya itu
yang terbaik bagi diriku. Aku mencintai Allah bukan karena Ali, tapi
aku mencintai Ali karena Allah.”
“Sungguh jika benar demikian, cintamu pada Ali palsu! Dan ketetapan Allah itu kejam dan keji!”
“Astaghfirullah………” Mata Zanimra berkaca mendengar kalimat Putri.
Kesedihannya bertambah melihat syaitan semakin menguasai hati rapuh
Putri Aelia.
“Sungguh Putri, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
“Jika memang demikian. Mengapa Allah memberikan aku begitu banyak derita padahal aku selalu berbuat baik pada sesama.”
“Karena cinta yang kau kenal adalah salah.”
“Apa maksudmu?”
“Putriku yang bijak, kekalkah diri kita ini?”
“Tidak.”
“Kekallah kecantikanmu hingga akhir jaman?”
“Tidak.”
“Kekalkah Ali?”
“Tidak.”
“Tidakkah kau mengerti juga? Apapun yang kita dapati didunia ini
tidaklah kekal dan memiliki akhir. Hanya Allah yang Maha Pengasihlah
yang Kekal, maka dari itu Allah Maha Mengetahui dan Mengerti akan
ciptaan-Nya. Masihkah kau tak mengerti?”
“Zanimra, jangan cemooh kecerdasanku. Aku telah merasakan bagaimana
sakitnya kehilangan orang yang amat aku cintai berulang kali, ayahku,
bundaku, dan kini Ali. Mengapa Allah mempertemukan aku dengan Ali jika
aku tak bisa memilikinya. Tidak perdulika Allah jika hal itu akan
menghancurkan jiwaku? Bagaimana aku bisa percaya Tuhan itu Maha Pengasih
dan Maha Mengerti akan ciptaan-Nya jika kepedihan hatiku ini tak
tertahankan dan terjadi berulang-ulang?”
“Sesungguhnya Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri duhai Putri
yang Cantik.” Putri Aelia terhenyak lalu menatap Zanimra dengan tajam.
“Apa maksudmu?”
“Putri, Kau merasakan pilu dan sakit yang sangat dalam karena kehilangan
mereka yang kau cintai, sekarang aku bertanya padamu.” Zanimra
merapatkan dirinya lalu memegang lembut wajah Putri Aelia dan berkata
lirih penuh kesungguhan.
“Apakah Engkau akan merasakan sakit jika yang kau cintai itu KEKAL?”
“Tidak.”
“Adakah makhluk atau benda dibumi ini yang kekal?”
“Tidak…” Putri Aelia terperangah dengan jawabannya sendiri, kemarahan
diwajahnya tiba-tiba pecah dan luruh. Mata yang semula penuh kebencian
dan kekecewaan kini berkaca-kaca. Pertanyaan Zanimra seperti tamparan
yang membuatnya tersadar dari mimpi buruk yang panjang.
“Dan siapakah yang kekal dan tak akan meninggalkanmu?”
Bibir Putri bergetar tak mampu menjawab pertanyaan Zanimra, dengan lembut Zanimra berbisik,
“Laa illaa haillallaah.” Lalu ia melanjutkan,
“Apakah kejam dan keji jika Allah memintamu untuk mencintai Dirinya Yang Maha KEKAL?”
“T…i…dak…” Jawab Putri Aelia semakin melambat, airmatanya yang
menggenang dipipinya bergulir membasahi pipinya yang putih dengan
derasnya. Zanimra semakin melembutkan suaranya melanjutkan
pertanyaannya.
“Mengapa wahai Putri yang bijak?”
Tangis Putri pecah hingga tubuhnya bergetar hebat,
“Duhai Zanimra, karena Allah ingin Menjagaku dari rasa sakit yang amat
sangat seperti yang telah dan tengah kurasakan ini.” Jawab Putri Aelia
dengan terbata disela isak tangisnya.
“Alhamdulillah….subhanallah…tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.
Q.S. Al Baqarah : 165. Dan diantara manusia itu ada yang mempertuhankan
sesuatu yang lain daripada Allah sebagai tuhan-tandingan; dicintainya
seperti mencintai Allah. Orang yang beriman hanya mencintai Allah
semata…”
Zanimra bertasbih penuh rasa syukur akan kebersaran Allah tuhan semesta alam.
“Duhai Zanimra, aku telah hidup dalam kesesatan yang nyata dengan mata
buta dan telinga yang tuli.” Tangisnya semakin menjadi, Putri Aelia
menjatuhkan dirinya pada pelukan Zanimra.
“Sungguh Cinta Hakiki hanyalah pada Allah semata. Kasihilah manusia karena Allah, maka hidupmu akan tenang.”
Setelah tangisnya sedikit reda, Putri Aelia berkata lirih,
“Sungguh sekarang aku mengerti mengapa Ali mencintaimu, karena Ali percaya kau akan menjaga cintanya kepada Allah.”
“Dan begitupun sebaliknya Putri, aku mencintai Ali karena dia akan menjadi pemimpin yang baik bagiku untuk menuju cinta Allah.”
“Zanimra…bernjanjilah padaku satu hal.”
“Jika aku bisa. Insyaallah”
“Ajari aku bagaimana mencintai Allah dan panggilah aku adik karena begitu ingin aku mengikat tali persaudaraan denganmu.”
“Insyaallah, aku sendiripun sedang belajar unutk mencintai Allah, duhai Putri,”
“Katakan padaku, apa yang pertama kali harus kulakukan untuk menunjukan
rasa cintaku kepada Allah.” Zanimra tersenyum penuh haru, ditariknya
selendang yang tersampir dibahu putri. Dengan halus Zanimra menutup
rambut dan pundak putri hingga nampak wajahnya yang putri saja dari
balik selandang itu.
“Kepatuhan akan Perintah-Nya adalah tanda cinta kita pada Allah.”
“Sungguh ajaib cinta kepada Allah wahai Zanimra, seluruh badai dalam
jiwaku luruh berganti dengan ketenangan dan kebahagiaan yang nyata dalam
sekejap. Sekarang aku mengerti mengapa kau selalu terlihat tenang.”
Putri Aelia menggengam erat tangan Zanimra lalu menariknya setengah
berlari menuju balai kerajaan.
Setibanya disana, berpuluh mata tertuju pada dua sosok wanita itu.
Seluruh penghuni ruangan amat terkejut melihat penampilan baru Putri
Aelia dengan kerudungnya. Kulitnya tubuh yang putih bersinar kini penuh
tertutup, rambutnya yang panjang dan hitam legampun tersembunyi dibalik
kerudung putihnya. Sedangkan disudut lain, Abdullah dan Ali tersenyum
penuh haru. Sedangkan Raja tertegun keheranan seperti yang lain, melihat
perubahan Putri Aelia yang begitu cepat.
Dengan tenang dan anggunnya Putri Aelia melangkah mendekati singgasana Raja.
“Wahai Aelia adikku, sungguh sekarang kau mengejutkan aku. Apa yang terjadi padamu?”
“Duhai kakakku Raja dari negri ini, aku mendapat cahaya matahari ditengah malamku yang gelap dan penuh badai.”
“Dan bagaimanakah keadaanmu saat ini?”
“Terang dan damai dengan sirnanya kegalapan dari jiwaku.”
“Sungguh, cahaya matahari yang bagaimanakah yang kau telah dapatkan?”
“Cahaya Cinta yang Hakiki.”
“Cinta Hakiki?” Tanya Raja penasaran,
“Cinta yang sama yang dimiliki Zanimra.”
“Maksudmu Ali?” Raja tampak agak terkejut,
“Bukan.” Jawab Putri Aelia mantap,
“Bukankah cinta yang dimiliki Zanimra adalah Ali?”
“Benar duhai Kakakku Raja dari negri ini, tapi yang kudapati adalah cinta diatas cinta Zanimra pada Ali.”
“Dan siapakah itu?” Raja tertegun.
“Cinta kepada Allah.” Jawab putri dengan rasa haru, Raja tersenyum bahagia dan bertasbih penuh syukur.
“Terima kasih kuucapkan padamu Zanimra, sungguh akupun merasa malu
padamu dan Ali. Kecintaan kalian pada Allah menyadarkan aku betapa
selama ini aku memimpin negriku dengan kecintaan pada dunia semata.
Jikalah Allah bukan Tuhan Yang Maha Pengasih, tak akan didatangkan Ali
dan dirimu untuk membuka mataku.”
“Kerajaan ini adalah kerajaan Islam, tapi penduduknya kebanyakan
melupakan Tuhannya. Sungguh celaka diriku dihari akhir nanti jika aku
masih memimpin kerajaanku seperti sekarang ini. Allah akan menghukumku
dengan sangat pedih karena kesombonganku dan kelalaianku sebagai seorang
pemimpin.”
Raja kemudian memanggil Ali.
“Ali abdul Jabbar bin Abdullah, menghadaplah kepadaku.”
Alipun keluar dari sela-sela kerumunan petinggi kerajaan.
“Apakah Kau dengar dengan jelas apa yang kukatakan barusan Ali?”
“Ya! Baginda, dan saya berterima kasih atas pujian Baginda, Alhamdulillah.”
“Apakah kau setuju dengan yang kukatakan?”
“Ya, saya setuju Baginda.”
“Kalau begitu, bersediakah kau membantuku menata kembali kerajaan ini di jalan Allah?”
“Insyaallah, sebagai seorang muslim saya berkewajiban kepada tanah air, saya bersedia.”
“Baiklah, sebagai pemimpin kerajaan ini kuperintahkan dirimu tinggal di
istana sebagai Penasihat Utamaku.” Lalu raja mengalihkan pandangannya
pada Zanimra,
“Zanimra.”
“Saya Baginda.”
“Sungguh kau adalah satu-satunya wanita yang berani menentangku di atas
meja makanku sendiri. Kukagumi keberanianmu dan kukagumi kecerdasanmu.
Entah apa yang kau lakukan sehingga dalam sekejap adikku tak mau
melepaskan tangannya darimu. Begitu cepat kau rubah kebencian dengan
kecintaan.”
“Segala Puji hanya bagi Allah. Sungguh Allah-lah yang Maha Kuasa dalam
menentukan perubahan, saya hanyalah seorang hamba yang hina dari-Nya.
Atas Kasih dan Kuasa Allah sajalah Putri menemukan kebahagiaan pada
cintanya yang hakiki.”
“Sungguh kau telah mengajarkan aku apa itu kesombongan Zanimra! Dan aku
sungguh hamba yang celaka karena kesombonganku kepada Allah. Kupikir
selama ini aku Raja yang bijak, tapi ternyata pujian rakyat dan kerajaan
tetanggaku membuat aku lupa bahwa aku ini hanyalah seorang hamba yang
hina dari Tuhan-Nya.” Mata Raja berkaca-kaca, dengan lembutnya terdengar
suara Ali melantunkan ayat-ayat dari Al-Qur’an, Al Hadid : 20-23;
20. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.
21. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu
dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.
22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.
23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu (sukses yang telah kamu
capai). Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”
“Astagfirullah……” tiba-tiba Raja tersungkur dan bersujud dilantai
sambil menangis. Serentak seluruh penghuni ruangan hingar bingar penuh
keterkejutan. Ali, Abdullah dan Zanimra ikut bersujud diikuti oleh Putri
Aelia yang kembali menangis. Satu demi satu bangsawan yang hadir
menundukan dirinya. Rasa hormat dan rakyat pada Raja sangatlah besar
karena kebaikan budinya dan kebijaksanaannya selama ini, mereka merasa
takjub melihat junjungannya tersungkur mencium tanah dengan tubuh
gemetar ketakutan. Perasaan Raja terbias menembus nurani pengikutnya,
satu demi satu merekapun turut menjatuhkan diri kelantai dan bersujud.
Pada hari itu, nama Allah diagungkan dan pada hari itulah kerajaan
Andimarsedonia diberkahi. Raja merayakan pernikahan Ali sebagai hadiah
bagi Ali dan Zanimra. Zanimra diangkat sebagai Penasihat umum kaum
wanita kerajaan. Semenjak hari itu kerajaan Andimarsedonia menjalankan
roda pemerintahan dibawah panji bendera Islam secara menyeluruh.
Pembimbingan akhlak diutamakan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sungguh Cinta yang Hakiki dan kekal kebahagiaannya hanyalah cinta kepada Allah semata. Allahuakbar.
From: http://multazimah.blogsome.come