Entri Populer

Jumat, 10 Februari 2012

ISLAM


Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah  Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan  bagi  penghuni  surga.  Islam  sebagai  agama  yang  sempurna  juga  telah  mengatur  bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang  rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda  saat ini. Penyaluran  cinta ala mereka biasa disebut dengan  pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
AJARAN ISLAM MELARANG MENDEKATI ZINA
 Allah Ta’ala berfirman, 
اًييِبَس َءاَسَو ًتَشِحاَف َُاَم َُِّّٔإ اَِّّضىا اىُبَشْقَح اَىَو
 Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32)
Dalam  Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’.  Artinya  bahwa  jika  kita  mendekati  zina  saja  tidak  boleh,  apalagi  sampai  melakukan  zina jelas-jelas lebih terlarang.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.” 
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
 ISLAM MEMERINTAHKAN UNTUK MENUNDUKKAN PANDANGAN
 Allah  memerintahkan  kaum  muslimin  untuk  menundukkan  pandangan  ketika  melihat  lawan  jenis.  Allah
Ta’ala berfirman,
 ٌُِهَجوُشُف اىُظَفِحَيَو ٌِِِٕساَصِبَأ ٍِِِ اىُّضُغَي َينٍِِِْؤَُْيِى ْوُق
 Katakanlah  kepada  laki    laki  yang  beriman  :”Hendaklah  mereka  menundukkan  pandangannya  dan
memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
َُِّهَجوُشُف َِْظَفِحَيَو َِِِّٕساَصِبَأ ٍِِِ َِِضُضِغَي ِثاٍَِِْؤَُْيِى ْوُقَو
 Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada  hamba-Nya  yang  beriman  untuk  menundukkan  pandangan  mereka  dari  hal-hal  yang  haram.
Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya).  Hendaklah  mereka  juga  menundukkan  pandangan  dari  hal-hal  yang  haram.  Jika  memang mereka   tiba-tiba   melihat   sesuatu   yang   haram   itu   dengan   tidak   sengaja,   maka   hendaklah   mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika   menafsirkan   ayat   kedua   di   atas,   Ibnu   Katsir   juga   mengatakan,”Firman   Allah   (yang   artinya) katakanlah  kepada wanita-wanita yang beriman  :  hendaklah  mereka  menundukkan pandangan  mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain  selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki  lain  (selain  suami  atau  mahromnya,  pen)  baik  dengan  syahwat  dan  tanpa  syahwat.    Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis? 
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
“Aku  bertanya  kepada  Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  tentang  pandangan  yang  cuma  selintas (tidak  sengaja).  Kemudian  Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  memerintahkan  kepadaku  agar  aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya)  “yang demikian  itu adalah  lebih  suci  bagi  mereka”  yaitu  dengan  menundukkan  pandangan  akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir  –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-
ALLAH MEMERINTAHKAN KEPADA WANITA UNTUK MENUTUP AURATNYA
 Allah Ta’ala berfirman,
 َِِيَرِؤُي اَيَف َِْفَشِؼُي َُْأ ًَِّدَأ َلِىَر َِِّهِبيِباَيَج ٍِِِ َِِّهِيَيَػ َينِِّذُي َينٍِِِْؤَُْىا ِءاَسَِّو َلِحاََْبَو َلِجاَوِصَأِى ْوُق ُّيِبَّْىا اَهُّيَأ اَي
 اَّيِحَس اّسىُفَغ َُّٔيىا َُاَمَو
Hai  Nabi,  katakanlah  kepada  isteri-isterimu,  anak-anak  perempuanmu  dan  isteri-isteri  orang  mu'min: "Hendaklah  mereka  mengulurkan  jilbabnya ke  seluruh  tubuh  mereka".  Yang demikian  itu  supaya  mereka lebih  mudah untuk  dikenal,  karena itu  mereka  tidak di ganggu.  Dan  Allah adalah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)
اَهٍِِْ َشَهَظ اٍَ اَّىِإ َُِّهَخَْيِص َِيِذِبُي اَىَو َُِّهَجوُشُف َِْظَفِحَيَو َِِِّٕساَصِبَأ ٍِِِ َِِضُضِغَي ِثاٍَِِْؤَُْيِى ْوُقَو
“Katakanlah   kepada    wanita   yang   beriman:    "Hendaklah    mereka    menahan   pandangannya,   dan kemaluannya,  dan  janganlah  mereka  menampakkan  perhiasannya,  kecuali  yang  (biasa)  nampak  dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). 
Berdasarkan  tafsiran  Ibnu  Abbas,  Ibnu  Umar,  dan  Atho’  bin  Abi  Robbah  bahwa  yang  boleh  ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim)
AGAMA ISLAM MELARANG BERDUAAN DENGAN LAWAN JENIS
 Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًٍَشِحٍَ يِر َغٍَ َّلاِإ ٍةَأَشٍِاِب ٌوُجَس ََُّىُيِخَي َلا
 Janganlah  seorang  laki-laki  berduaan  dengan  seorang  wanita  kecuali  jika  bersama  mahromnya.”  (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ًٍَشِحٍَ َّلاِإ ، ُُاَطِيَّشىا اََُهَثِىاَث َُِّئَف ، َُٔى ُّوِحَح َلا ٍةَأَشٍِاِب ٌوُجَس ََُّىُيِخَي َلا َلاَأ
 Janganlah   seorang   laki-laki   berduaan   dengan   seorang   wanita   yang   tidak   halal   baginya   karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi) 
JABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS TERMASUK YANG DILARANG
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
 ُعاََِخِسِلاا إََُاَِّص ُِاَُّرُلأاَو ُشَظَّْىا إََُاَِّص ُِاَِْيَؼْىاَف َتَىاَحٍَ َلا َلِىَر ْكِسِذٍُ ًَِّّضىا ٍَِِ ُُٔبيِصَّ ًََدآ ِِِبا ًَيَػ َبِخُم
ُُٔبِّزَنُيَو ُجِشَفْىا َلِىَر ُقِّذَصُيَو ًََََّْخَيَو يَىِهَي ُبْيَقْىاَو اَطُخْىا إَاَِّص ُوِجِّشىاَو ُشْطَبْىا إَاَِّص ُذَيْىاَو ًَُلاَنْىا ُٓاَِّص ُُاَسِّيىاَو
      Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah denganberbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
An Nawawi –seorang ulama besar Syafi’iyyah- berkata,
”Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada yang berbentuk  zina  secara  hakiki  yaitu  memasukkan  kemaluan  kepada  kemaluan  yang  haram.  Di  samping  itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang  simbolis  (majas).  Lalu  kemaluan  nanti  yang  akan  membenarkan  perbuatan-perbuatan  tadi  atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina dengan kemaluan dan ada pula yang  tidak  hakiki  dengan  tidak  memasukkan  kemaluan  pada  kemaluan,  atau  yang  mendekati  hal  ini. Wallahu a’lam” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis  -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan  kaedah  ushul  “apabila  sesuatu  dinamakan  dengan  sesuatu  lain  yang  haram,  maka  menunjukkan  bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
MENINJAU FENOMENA PACARAN
 Setelah  pemaparan  di  atas,  jika  kita  meninjau  fenomena  pacaran  saat  ini  pasti  ada  perbuatan-perbuatan  yang  dilarang  di  atas.  Kita  dapat  melihat  bahwa  bentuk  pacaran  bisa  mendekati  zina.  Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu  billahi  min  dzalik-.  Lalu  pintu  mana  lagi  paling  lebar  dan  paling  dekat  dengan  ruang  perzinaan melebihi pintu pacaran?! Mungkinkah  ada  pacaran  Islami?  Sungguh,  pacaran  yang  dilakukan  saat  ini  bahkan  yang  dilabeli  dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini! Mustahil Ada Pacaran Islami Salah  seorang  dai  terkemuka  pernah  ditanya,  ”Ngomong-ngomong,  dulu  bapak  dengan  ibu,  maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?” Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara  Islami.  Lho,  gimana  caranya?  Kami  juga  sering  berjalan-jalan  ke  tempat  rekreasi,  tapi  tak  pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina. Nuansa  berpikir  seperti  itu,  tampaknya  bukan  hanya  milik  si  dai.  Banyak  kalangan  kaum  muslimin  yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu  ibarat  kalimat,  “Mandi boleh,  asal  jangan basah.”  Ungkapan yang  hakikatnya  tidak  berwujud.  Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam  Islam.  Kecuali  kalau  sekedar  melakukan  nazhor  (melihat  calon  istri  sebelum  dinikahi,  dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh  merupakan  perancuan  istilah.  Istilah  pacaran  sudah  kadong  dipahami  sebagai  hubungan  lebih intim  antara  sepasang  kekasih,  yang  diaplikasikan  dengan  jalan  bareng,  jalan-jalan,  saling  berkirim  surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram,  bayangan  haram,  dan  banyak  hal-hal  lain  yang  bertentangan  dengan  syariat.  Bila  kemudian  ada istilah  pacaran  yang  Islami,  sama  halnya  dengan  memaksakan  adanya  istilah,  meneggak  minuman  keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami,  dan  sejenisnya.  Kalaupun  ada  aktivitas  tertentu  yang  halal,  kemudian  di  labeli  nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat. (Diambil dari buku Sutra Asmara, Abu Umar Basyir)
Pacaran Mempengaruhi Kecintaan pada Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,
”Kalau  orang  yang  sedang  dilanda  asmara  itu  disuruh  memilih  antara  kesukaan  pujaannya  itu  dengan kesukaan  Allah,  pasti  ia  akan  memilih  yang  pertama.  Ia  pun  lebih  merindukan  perjumpaan  dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
 Islam  yang  sempurna  telah  mengatur  hubungan  dengan  lawan  jenis.  Hubungan  ini  telah  diatur  dalam syariat  suci  yaitu  pernikahan.  Pernikahan  yang  benar  dalam  islam  juga  bukanlah  yang  diawali  dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kami  tidak  pernah  mengetahui  solusi  untuk  dua  orang  yang  saling  mencintai  semisal  pernikahan.”  (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani) Kalau  belum  mampu  menikah,  tahanlah  diri  dengan  berpuasa.  Rasulullah  shallalahu  ‘alaihi  wa  sallam bersabda,
ٌءاَجِو َُٔى َُِّّٔئَف ، ًِِىَّصىاِب ِِٔيَيَؼَف ِغِطَخِسَي ٌَِى ٍََِِو ، ِجِشَفْيِى َُِصِحَأَو ِشَصَبْيِى ُّضَغَأ َُِّّٔئَف ، ِجَّوَضَخَيْيَف َةَءاَبْىا َعاَطَخِسا ٍَِِ
 Barangsiapa  yang  mampu  untuk  menikah,  maka  menikahlah.  Karena  itu  lebih  akan  menundukkan pandangan  dan  lebih  menjaga  kemaluan.  Barangsiapa  yang  belum  mampu,  maka  berpuasalah  karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan  kelezatan  dan  cita  rasa  cinta,  tidak  bisa  tidak  akan  timbul  keinginan  lain  yang  belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.

Mudah-mudahan   Allah   memudahkan   kita   semua   untuk   menjalankan   perintah-Nya   serta   menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar