Qana’ah (Antara Motivasi dan Pemicu Kemunduran)
Salah paham terhadap ajaran Islam sering terjadi di
khalayak luas. bahkan ada sebagian ajaran-ajaran Islam yang salah pemaknaanya
justru membuat mereka kerepotan dan mematahkan apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Salah paham semacam ini otomatis berakibat salah praktik terhadap ajaran
tersebut, seperti halnya Qana’ah (sikap menerima) istilah ini dalam praktik
sehari-hari umat Islam sering dijadikan sebagai landasan hidup seolah-olah
memberikan justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Namun sayangnya sering
berkonotasi negative, lamban, terbelakang, kemalasan dan semacamnya. Padahal
arti sebenarnya harus berkonotasi positif yang memberikan motivasi dan dorongan
untuk maju.
Secara maknawi, qana’ah berarti menerima apa adanya.
Merasa ikhlas dan puas dengan kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya
“Nrimo Ing Pandum”. memang tak salah
kalau qana’ah diartikan menerima apa adanya. tetapi tidak berhenti hanya sampai
disitu. sikap qana’ah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah,
introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara wajar dan
tidak melampaui batas. selanjutnya diperlukan adanya rasa syukur, tasyakkur dan
tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya, tasyakkur tercermin
dari kelapangan hati dan kesabaran, tafakkur sebagai wujud evaluasi. Ada sebuah Hadits yang
mengatakan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Sesungguhnya sangat beruntung orang yang
telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa
puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Merasa puas (qana’ah) merupakan kunci kebahagiaan. dari
merasa puas inilah timbul rasa kesyukuran serta membuat seseorang tidak serakah
dan menimbulkan rasa ingin berbagi. Ia tidak menggenggam semua yang telah dia
dapat karena semua yang telah dia dapat ketika sebagian kecilnya telah ia
nikmati, dia punmerasa puas. jiwanya telah merasa kenyang sehingga sebagian
besarnya akan sangat mudah dia berikan kepada mereka yang membutuhkan.
Qana’ah sebagai motivasi
Qana’ah sering dipahami sebagai sikap menerima apa
adanya, yaitu berakibat mudah menyerah dan menerima apa adanya. tuntutan untuk
kemajuan dianggapnya sebagai hal yang tidak perlu karena bertentangan dengan
sikap nerimo tersebut. pemahaman
seperti ini jelas keliru, seharusnya Qana’ah dipahami sebagai sifat yang jujur
untuk menerima hasil sesuai dengan kerjanya, tidak serakah dan menuntut hasil
yang lebih dengan kerja yang kecil, tidak iri, tidak hasud, dan pastinya tidak
mengkhayal yang aneh-aneh atau yang tinggi-tinggi yang sama sekali tidak sesuai
dengan kerja atau upaya yang dilakukannya diluar kemampuannya.
Jadi, sebenarnya qana’ah harus dijadikan sebagai sebuah spirit motivasi untuk menjadi umat yang lebih baik, selalu
berkembang dan berkeinginan untuk maju. ketika hari ini kita hanya mampu
menghasilkan sesuatu yang hanya cukup untuk diri kita sendiri maka untuk
selanjutnya kita akan meningkatkan kerja dan upaya kita agar lebih baik dan
bisa dirasakan oleh orang lain Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat untuk manusia lainnya? Bukankah tangan yang diatas akan lebih
baik daripada tangan yang dibawah? sekarang marilah kita tentukan sendiri, kita
menjadi muslim yang lebih baik atau hanya seperti ini saja….
Wallahu’alam
Qana’ah
sebagai pemicu kemunduran
Hal yang fatal
sekali yang kaitannya dengan hambatan untuk kemajuan adalah adanya sebuah
doktrin yang mengatakan bahwa dunia adalah sebuah tipuan belaka padahal
seharusnya harus ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
dan bila dikaitkan dengan Qana’ah disini diartikan menerima apa adanya kepada
keadaan tanpa perlu ada usaha untuk merubahnya. Usaha maksimal mereka anggap
merupakan suatu yang sia-sia karena mereka menganggap semua yang telah terjadi adalah
sebuah takdir yang tidak akan pernah dirubah, mereka menganggap apa yang mereka
lakukan ini sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah maka tidak ada
lagi yang perlu dirubah, jadi dengan demikian orang-orang yang memahami sikap
qana’ah seperti ini adalah orang-orang yang tidak memahami dengan benar tentang
qana’ah dan selalu mengembalikannya pada sebuah takdir dan mereka pula tidak
memahami tentang hakekat takdir yang sebenarnya, padahal ada suatu dalil yang
mengatakan “Allah Subhannallahu wa ta’ala tidak akan merubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka merubahnya sendiri”
Maka pada dasarnya sampai kapanpun keadaan mereka tidak
akan pernah berubah sebelum mereka berikhtiar semaksimal mungkin untuk
merubahnya sendiri (pastinya dengan
segala Ridha’ Allah Subhannallahu wa ta’ala)
pemikiran yang salah kaprah seperti yang disebutkan
diatas harus segera diluruskan dan dibenarkan demi terbentuknya umat islam yang
kuat dan benar serta dapat selalu bermanfaat bagi orang lain disekitarnya,
agama, bangsa dan tidak dinafikan lagi bahwa segala sesuatu dapat berkembang
(pendidikan, agama, bangsa dll) juga dengan pembiayaan yang cukup maka dari itu
sifat yang demikian harus segera diubah dan diluruskan. Namun, meskipun
demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat
tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah.
JALAN
MENUJU QANA’AH
1.
Memperkuat
keimanan kepada Allah Subhannallahu wa ta’ala
Meningkatkan
dan memperkuat keimanan kita kepada Allah Subhannallahu wa ta’ala merupakan
suatu hal sentral yang harus selalu kita lakukan guna memperbaiki kualitas
hidup kita dan selalu mengharapkan segala ridha’ Allah agar semua yang kita
lakukan merupakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.
2.
Yakin
bahwa rizki telah tertulis
Seorang muslim harus yakin bahwa rizkinya sudah tertulis
sejak dirinya berada di alam kandungan ibunya. Sebagaimana Hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, disebutkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diantaranya, “Kemudian Allah Subhannallahu wa ta’ala
mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat
kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan
bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Seorang hamba hanya
diperintahkan untuk berusaha dan bekerja semaksimal mungkin untuk mendapatkan
rezeki yang telah tertulis tersebut tanpa harus putus asa dan selalu berdoa (sabar dan sholat) dengan keyakinan
bahwa Allah Subhannallahu wa ta’ala yang memberikan rizkinya.
3. Mengetahui hikmah perbedaan rizki
Diantara hikmah Allah Subhannallahu wa ta’ala menentukan
perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan lainnya adalah supaya
terjadi dinamika kehidupan manusia dimuka bumi saling tukar-menukar manfaat,
tumbuh aktifitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lain saling
memberikan pelayanan dan jasa.
4. Melihat kebawah dalam hal dunia
Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang
yang lebih rendah, sebagaimana sabda Rasulullah “Lihatlah kepada orang yang lebih
rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu.
Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah
Subhannallahu wa ta’ala.” (HR
Bukhari Muslim) hadits ini digunakan untuk selalu bersyukur kepada Allah
atas segala rizki yang telah kita terima tetapi demi kemajuan umat kita,
seseorang juga hendaknya melihat keatas (Hal-hal yang lebih maju) sebagai pemicu kesemangatan kita untuk selalu
berusaha semaksimal mungkin demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.
5. Menyadari bahwa rizki tidak diukur
dengan kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak
bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan
ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab datangnya rizki namun
bukan ukuran secara pasti. Kesadaran tentang hal ini akan menjadi sesesorang
bersikap qana’ah, terutama melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih
rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada
dirinya,sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
6. Memikirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah
rizki dan bekerja (usaha). Amir bin Abdi
Qais pernah berkata, “Empat ayat didalam
Kitabullah yang apabila aku membacanya disore hari maka aku tidak akan peduli
atas apa yang akan terjadi padaku sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi
hari maka aku tidak akan peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, yaitu Surah
Fathir: 2, Yunus: 107, Huud: 6, Ath-Thalaq: 7.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar