Entri Populer

Jumat, 10 Februari 2012

QANA'AH

Qana’ah (Antara Motivasi dan Pemicu Kemunduran)
Salah paham terhadap ajaran Islam sering terjadi di khalayak luas. bahkan ada sebagian ajaran-ajaran Islam yang salah pemaknaanya justru membuat mereka kerepotan dan mematahkan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Salah paham semacam ini otomatis berakibat salah praktik terhadap ajaran tersebut, seperti halnya Qana’ah (sikap menerima) istilah ini dalam praktik sehari-hari umat Islam sering dijadikan sebagai landasan hidup seolah-olah memberikan justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Namun sayangnya sering berkonotasi negative, lamban, terbelakang, kemalasan dan semacamnya. Padahal arti sebenarnya harus berkonotasi positif yang memberikan motivasi dan dorongan untuk maju.
Secara maknawi, qana’ah berarti menerima apa adanya. Merasa ikhlas dan puas dengan kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya “Nrimo Ing Pandum”. memang tak salah kalau qana’ah diartikan menerima apa adanya. tetapi tidak berhenti hanya sampai disitu. sikap qana’ah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara wajar dan tidak melampaui batas. selanjutnya diperlukan adanya rasa syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya, tasyakkur tercermin dari kelapangan hati dan kesabaran, tafakkur sebagai wujud evaluasi. Ada sebuah Hadits yang mengatakan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Sesungguhnya sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Merasa puas (qana’ah) merupakan kunci kebahagiaan. dari merasa puas inilah timbul rasa kesyukuran serta membuat seseorang tidak serakah dan menimbulkan rasa ingin berbagi. Ia tidak menggenggam semua yang telah dia dapat karena semua yang telah dia dapat ketika sebagian kecilnya telah ia nikmati, dia punmerasa puas. jiwanya telah merasa kenyang sehingga sebagian besarnya akan sangat mudah dia berikan kepada mereka yang membutuhkan.   
Qana’ah sebagai motivasi
Qana’ah sering dipahami sebagai sikap menerima apa adanya, yaitu berakibat mudah menyerah dan menerima apa adanya. tuntutan untuk kemajuan dianggapnya sebagai hal yang tidak perlu karena bertentangan dengan sikap nerimo tersebut. pemahaman seperti ini jelas keliru, seharusnya Qana’ah dipahami sebagai sifat yang jujur untuk menerima hasil sesuai dengan kerjanya, tidak serakah dan menuntut hasil yang lebih dengan kerja yang kecil, tidak iri, tidak hasud, dan pastinya tidak mengkhayal yang aneh-aneh atau yang tinggi-tinggi yang sama sekali tidak sesuai dengan kerja atau upaya yang dilakukannya diluar kemampuannya.
Jadi, sebenarnya qana’ah harus dijadikan sebagai sebuah spirit motivasi  untuk menjadi umat yang lebih baik, selalu berkembang dan berkeinginan untuk maju. ketika hari ini kita hanya mampu menghasilkan sesuatu yang hanya cukup untuk diri kita sendiri maka untuk selanjutnya kita akan meningkatkan kerja dan upaya kita agar lebih baik dan bisa dirasakan oleh orang lain Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya? Bukankah tangan yang diatas akan lebih baik daripada tangan yang dibawah?  sekarang marilah kita tentukan sendiri, kita menjadi muslim yang lebih baik atau hanya seperti ini saja….
Wallahu’alam
Qana’ah sebagai pemicu kemunduran
Hal  yang fatal sekali yang kaitannya dengan hambatan untuk kemajuan adalah adanya sebuah doktrin yang mengatakan bahwa dunia adalah sebuah tipuan belaka padahal seharusnya harus ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, dan bila dikaitkan dengan Qana’ah disini diartikan menerima apa adanya kepada keadaan tanpa perlu ada usaha untuk merubahnya. Usaha maksimal mereka anggap merupakan suatu yang sia-sia karena mereka menganggap semua yang telah terjadi adalah sebuah takdir yang tidak akan pernah dirubah, mereka menganggap apa yang mereka lakukan ini sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah maka tidak ada lagi yang perlu dirubah, jadi dengan demikian orang-orang yang memahami sikap qana’ah seperti ini adalah orang-orang yang tidak memahami dengan benar tentang qana’ah dan selalu mengembalikannya pada sebuah takdir dan mereka pula tidak memahami tentang hakekat takdir yang sebenarnya, padahal ada suatu dalil yang mengatakan “Allah Subhannallahu wa ta’ala tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubahnya sendiri”
Maka pada dasarnya sampai kapanpun keadaan mereka tidak akan pernah berubah sebelum mereka berikhtiar semaksimal mungkin untuk merubahnya sendiri (pastinya dengan segala Ridha’ Allah Subhannallahu wa ta’ala)
pemikiran yang salah kaprah seperti yang disebutkan diatas harus segera diluruskan dan dibenarkan demi terbentuknya umat islam yang kuat dan benar serta dapat selalu bermanfaat bagi orang lain disekitarnya, agama, bangsa dan tidak dinafikan lagi bahwa segala sesuatu dapat berkembang (pendidikan, agama, bangsa dll) juga dengan pembiayaan yang cukup maka dari itu sifat yang demikian harus segera diubah dan diluruskan. Namun, meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. 
JALAN MENUJU QANA’AH
1.     Memperkuat keimanan kepada Allah Subhannallahu wa ta’ala
Meningkatkan dan memperkuat keimanan kita kepada Allah Subhannallahu wa ta’ala merupakan suatu hal sentral yang harus selalu kita lakukan guna memperbaiki kualitas hidup kita dan selalu mengharapkan segala ridha’ Allah agar semua yang kita lakukan merupakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.
2.     Yakin bahwa rizki telah tertulis
Seorang muslim harus yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di alam kandungan ibunya. Sebagaimana Hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diantaranya, “Kemudian Allah Subhannallahu wa ta’ala mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Seorang hamba hanya diperintahkan untuk berusaha dan bekerja semaksimal mungkin untuk mendapatkan rezeki yang telah tertulis tersebut tanpa harus putus asa dan selalu berdoa (sabar dan sholat) dengan keyakinan bahwa Allah Subhannallahu wa ta’ala yang memberikan rizkinya.
3.     Mengetahui hikmah perbedaan rizki
Diantara hikmah Allah Subhannallahu wa ta’ala menentukan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia dimuka bumi saling tukar-menukar manfaat, tumbuh aktifitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lain saling memberikan pelayanan dan jasa.
4.     Melihat kebawah dalam hal dunia
Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah, sebagaimana sabda Rasulullah “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah Subhannallahu wa ta’ala.” (HR Bukhari Muslim) hadits ini digunakan untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala rizki yang telah kita terima tetapi demi kemajuan umat kita, seseorang juga hendaknya melihat keatas (Hal-hal yang lebih maju)  sebagai pemicu kesemangatan kita untuk selalu berusaha semaksimal mungkin demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.
5.     Menyadari bahwa rizki tidak diukur dengan kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab datangnya rizki namun bukan ukuran secara pasti. Kesadaran tentang hal ini akan menjadi sesesorang bersikap qana’ah, terutama melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya,sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
6.     Memikirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat didalam Kitabullah yang apabila aku membacanya disore hari maka aku tidak akan peduli atas apa yang akan terjadi padaku sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak akan peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, yaitu Surah Fathir: 2, Yunus: 107, Huud: 6, Ath-Thalaq: 7.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar