THE
POWER OF IKHLAS
Ikhlas
adalah meniatkan ibadah seorang muslim hanya karena Allah, dan mengharapkan
keridloan-Nya. Ikhlas sulit untuk dilihat dan dinilai karena ikhlas adalah
perbuatan hati, karena ikhlas memang salah satu dari rahasia Allah yang dititipkan
kepada hati seorang hamba yang dicintaiNya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kekasih
Allah yang paling mulia bersabda, “Berkaitan
dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril apakah ikhlas itu? Lalu Jibril
berkata “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas
itu sebenarnya?” Allah Subhannallahu wa Ta’ala yang Maha Luas Pengetahuannya
menjawab “Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di
hati hamba-hambaKu yang Kucintai.” (HR. Al-Qazwini)
Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu
diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintaiNya. Untuk mengetahui rahasia
ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih
dan para ulama’ kekasih Allah. Karena begitu pentingnya ikhlas, kitapun
dituntut untuk ikhlas ketika menjalankan suatu amal ibadah, harus semata-mata
karena Allah. Karena ketika suatu amal ibadah diiringi dengan penyakit hati
semacam riya’ ujub,sum’ah (ingin dipuji
orang, merasa dirinya lebih baik dari yang lain, ingin didengar orang) dll,
maka amal kita tidak akan diterima oleh Allah
Subhannallahu wa ta’ala.
Allah
berfirman: “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan [1062], lalu kami
jadikan amal itu(bagaikan) debu yang tak berterbangan”,
Maka alangkah ruginya jika amal ibadah kita tidak bernilai dihadapan Allah Subhannallahu wa ta’ala karena
kita tidak ikhlas menjalankannya. Ikhlas juga merupakan salah satu sebab
datangnya pertolongan Allah Subhannallahu
wa ta’ala sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menolong umat
ini dengan orang-orang lemahnya, dengan doa-doa mereka, keikhlasan dan shalat
mereka”. Maka tidak heran jika para kyai-kyai dahulu menganjurkan kepada
para ustadz dan guru untuk ikhlas ketika mengajar dengan harapan agar para
santri dan murid bisa diberi kemudahan dalam menyerap pelajaran. sebagaimana didawuhkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Adlan Aly, Kyai Sobari, Kyai Syansuri, dll.
Proses belajarnya dan rumusan ini juga berlaku pada amal
ibadah yang lain seperti me’amalah, do’a,dll. Sebagaimana apa yang dialami oleh
Kyai Syansuri Badawi dengan penjaring ikannya. berikut adalah kisah yang
dituturkan Kyai Syansuri kepada beberapa muridnya.
Ketika Kyai Syansuri sakit menjelang wafatnya pada tahun
1998, alumni Tebuireng wilayah Jakarta
mengadakan rombongan untuk menjenguk beliau di Rumah Sakit Ngoro. Meskipun saat
itu keadaan beliau sangat lemah, beliau masih bisa bertutur kata. Setelah
menanyakan kondisi beliau lalu berbincang-bincang ringan, beliau bercerita
tentang pengalaman beliau yang membuktikan betapa sesungguhnya ikhlas memang
mempunyai keistimewaan dan pengaruh dengan hasil suatu amal perbuatan.
Beliau bercerita kepada para murid beliau di Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah dulu
bahwa sewaktu beliau masih menjabat kepala sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah, ketika pulang dari mengajar,
beliau menjumpai ada seorang pedagang “bubuk”
(suatu alat yang digunakan untuk
menangkap ikan) berdiri didepan rumahnya. tiba-tiba penjual itu menawarkan
dagangannya kepada beliau “Kyai, tolong
beli bubuk ini. sudah 3 hari saya menjualnya tapi tidak laku, tolong…. karena
uang hasil jualan ini adalah jatah makan keluarga saya….”, karena kasihan
akhirnya beliau membeli bubuk yang ditawarkan kepadanya.
Meskipun bubuk tersebut sudah menjadi miliknya, bubuk
tersebut nganggur tidak dipakai. karena Kyai Syansuri bukanlah seorang nelayan
dan beliau pun agaknya memang tidak punya waktu untuk memanfaatkan barang yang
telah beliau beli bahkan beliau juga tidak sedang butuh dengan barang tersebut.
karena dari awal memang beliau berniat ingin menolong sang penjual yang sudah 3
hari menjajahkan barang dagangannya tetapi tidak ada yang membelinya. akhirnya
beliau hanya meletakkan bubuk tersebut diruang tamu.
Tak berapa lama kemudian datanglah seorang tamu, seorang
petani tetangga beliau. Orang itu bertamu untuk bersilaturrahim. layaknya
seorang tamu, maka ada saja isu menarik menjadi pembahasan antara sang tamu dan
tuan rumah. Ditengah perbincangannya, sang tamu melihat bubut tersebut. Ah… buat apa Kyai Syansuri memiliki bubuk
ini? sang tamu bertanya dibenaknya,
karena tamu tersebut tahu bahwa Kyai Syansuri sibuk dengan mengajar dan tidak
sempat pergi berburu ikan. Maka sang tamu pun memberanikan diri untuk meminta
bubuk tersebut. Kyai Syansuri pun dengan senang hati memberikan bubuk tersebut
kepada tamunya yang memintanya karena memang beliau tidak membutuhkannya.
Akhirnya sang tamu pulang dengan membawa bubuk pemberian kyai Syansuri
ditangannya. Esok harinya sebelum berangkat ke sawah, petani tersebut
meletakkan bubuknya disungai. Ketika waktu istirahat petani tersebut melihat
hasil tangkapannya. Tak disangka, ternyata sang petani mendapatkan hasil
tangkapan yang banyak sekali. hasil tangkapan tersebut kemudian dibawanya
pulang.
Ketika hendak kembali ke saawah setelah istirahat, sang
petani kembali meletakkan bubuknya di sungai lalu kembali bekerja disawah. Sore
harinya, ketika pulang dari sawah sang petani kembali mengambil bubuknya, dan
ternyata hasilnya juga banyak sekali. ikan-ikan hasil tangkapannya pun dibawa
pulang dan sebagian dibagikan kepada tetangganya. Maka beberapa hari sejak
petani memperoleh tangkapan ikan yang banyak, dia dan tetangganya tidak
berbelanja ikan dipasar. Tak berapa lama, kabar tentang bubuk bertuah pemberian
Kyai Syansuri itu tersebar, banyak orang yang ikut-ikutan berburu ikan tetapi
hasilnya tidak sebanyak sang petani dengan bubuknya. Akhirnya, banyak orang
yang ingin memilikinya. sayang, beberapa hari kemudian bubuk itu hilang, sang
petani pun bingung mencarinya. sudah beberapa hari sang petani mencari, tetapi
dia tidak menemukan bubuk bertuah pemberian Kyai Syansuri tersebut.
Maka sang petani mengadu kepada Kyai Syansuri bahwa bubuk
yang beliau berikan tempo hari hilang. mendengar pengaduan dari sang petani ,
Kyai Syansuri hanya terdiam. karena ingin mendapatkan ikan sebagaimana
biasanya, sang petani akhirnya kembali meminta bubuk kepada Kyai Syansuri.
karena beliau tidak memiliki bubuk lagi, maka Kyai Syansuri memberikan uang kepadanya
untuk membeli bubuk yang baru. Agaknya ini sedikit mengobati rasa kekecewaan
sang petani. Setelah membeli bubuk baru, sang petani pun berburu ikan kembali.
diletakkanlah bubuk barunya itu disungai, lalu ditinggak pergi ke sawah. ketika
saat istirahat, sang petani melihat hasil tangkapannya dengan bubuk barunya.
tak disangka sang petani hanya mendapatkan kepiting, dan tidak ada ikan yang
masuk ke jarring bubuknya. begitu juga waktu sore harinya, sang petani hanya
mendapatkan seekor ular. Esok harinya malah giliran kodok yang terjaring.
sungguh hasil yang mengecewakan, jauh dari hasil tangkapannya ketika memakai
bubuk yang pertama. Sang petani tidak habis piker, kenapa bisa hari-harinya
dengan bubuk yang baru tidak dinaungi keberuntungan. Maka dengan rasa
penasaran, sang petani pun menemui Kyai Syansuri menyakan perihal apa yang
didapatnya dengan bubuk yang baru. Mendengar cerita dari sang petani, Kyai
Syansuri hanya tertawa kecil lantas menerangkan kenapa hasilnya yang didapat
antara kedua bubuk tidak sama.
“Dulu
ketika saya memiliki bubuk pertama, saya ikhlas, saya membelinya dengan niatan
hanya ingin menolong penjual bubuk yang sudah 3 hari jualannya tidak laku.
Sedangkan ketika kamu membeli bubuk yang baru, kamu berniat ingin memburu ikan
dan mendapat tangkapan yang banyak tanpa diiringi rasa ikhlas ingin menolong
sang pembeli.”
TANDA-TANDA
IKHLAS SEORANG HAMBA
1.
tidak mencari popularitas dan tidak
menonjolkan diri
2.
tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu
keadaan kita yang sebenarnya. pujian adalah ujian dari Allah Subhannallahu wa ta’ala , hamper tidak pernah ada pujian yang
sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3.
tidak silau dan cinta jabatan
4.
tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5.
tidak mudah kecewa. seorang Hamba Allah yang
ikhlas yakin benar bahwa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak
yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah Subhannallahu wa ta’ala.
6.
tidak membedakan amal yang besar dan amal
yang kecil.
7.
tidak fanatic golongan
8.
Ridha’ dan marahnya bukan karena perasaan
pribadi
9.
Ringan, lahap dan nikmat dalam beramal
10. tidak
egois karena selalu mementingkan perasaan bersama
11. tidak
membeda-bedakan pergaulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar